Senin, 29 Desember 2008

If you could have 5 people over for dinner.. (I need your help, guys!!!)

Who would it be? Dead or alive.. Anyone at all!

I always thought that this question is rather interesting, but not as interesting as the answers that may go with it.

With God's blessing, my dad is going to be 60 this eleventh of January. My dad is my man, we really have that sepcial daughter-father bonding, so I was thinking of doing something special for his day, but not sure what since he is not so much into this big crowd gathering cheering making a big deal out of his bday.

On my way from the airport to home yesterday, this question suddenly popped into my head. And I thought, "Voilaa!!! This is it!!". I am going to throw him a little intimate dinner party, with HIS choice of 5 guests.

So I was talking to him, and I casually and hypothetically asked him this question. I first thought he was going to mention some big names of people he has not met in his life, people that he looks up to, which works he admires. But instead he mentioned familiar names. A couple of relatives, and a couple of his buddies. None of them know each other. And then I asked him, how about one famous person? Carefully thought, he said Bondan Winarno, because he thought the combination of all the people he mentioned before plus him would produce a quite interesting dinner conversation.

I wouldn't call my dad is a particular fan of Bondan. My dad is really into literature, so naturally he admires so many Indonesian writers and journalists. He has been following Bondan's works for quite sometime, way before he got famous. I think he can relate with Bondan so much because their same passion on culinary, traveling and culture. A few years back, me and my dad came to this book discussion held at Aksara, which was on Bondan's book, the phenomenal collection of Bondan's writings called "Jalansutera". He really enjoyed the event, and at the end engaged a quite intense conversation with Bondan.

I really wanna try to make this thing happen. My plan is to invite them early, 4-ish PM, throw in a few light friendly cocktails, and then dinner is going to be a special family recipe of Soto Pekalongan. (Seriously, it's nothing you have ever tasted before and if you think you have tasted the best soto, you WILL change your mind after tasting this one. Ask anyone that has tasted this particular soto at my house :)) I haven't thought anything for dessert, though.

I have been trying to contact a friend that may be able to help me to get a hold of this celebrity guest since yesterday, but no luck yet. Even if I can finally get a hold of her, I don't know if he's willing to come to a stranger's house for dinner. So.. I am asking you, who should be the alternative celebrity guest for my dad's birthday dinner?

Let me me give you a few hints on the other guests:

1. Oom Imam Prasojo: is a distant relative that really delightful to have around and is probably the youngest among the other guests. Really smart guy, I think he is a quite well-known lecturer or sociologist or something. He's on TV a lot.

2. Oom Jendol: is a cousin of my mom that is still really holding on to old conservative Javanese values. Quite a funny man, and is pretty adventurous. At 65, he recently had a road trip with a friend all the way to Lombok for 2 whole weeks.

3. Oom Putut is actually my mom's buddy from highschool, whom really clicked with my dad. Really friendly and easy to get along with, he's recovering from devastating and tough times because his daughter and wife passed away at almost the same time a couple of years ago. He's in my parents' ballroom dancing group.

4. Oom Rizal is my mom's bestfriend's husband from college. A straight out Bataknese, loves to live as much as he loves food, and has greaaattt sense of humour. He's hillarious.

5. Oom Andi Rally is our neighbor that just recently became acquainted with my parents. A former key personnel of a local private tv station which has retired and now is a successful entrepeneur through a MLM business, selling a energy saving caplets.

So that's the guests list. I know it's qite a short notice, but you think you can help me to think of an alternative (celebrity) guest for my dad's birthday dinner? Anyone you can think of that has personalities which will match with my dad's and other guests mentioned above? Anyone but politicians.. and Dave Hendrik. Thanks guys.. I'd really appreciate it. :)

Jumat, 28 November 2008

Apatis Ria

Semalam saya menonton Lions for Lambs. Film yang bercerita mengenai kebijakan politik Amerika terhadap "war on terror" di Iraq dan Afghanistan. Si Tom Cruise berperan sebagai senator ambisius yang sedang diwawancara oleh jurnalis senior yang diperankan oleh Meryl Streep. Lalu ada Robert Redford sebagai dosen ilmu politik yang sedang berdiskusi 4 mata dengan salah sau muridnya. Sementara itu, di belahan dunia lain, terdapat 2 mantan murid si dosen yang mendaftar sukarela untuk berpatisipasi dalam perang melawan teror itu, a hispanic and an african-american, yang sedang berjuang mati-matian di garis musuh karena tertinggal pasukannya.

Filmnya lumayan. Sarat akan dialog2 berat bermuatan politik yang tidak sepenuhnnya saya mengerti yang sangat mungkin mengandung propaganda. Tapi bukan itu yang ingin membuat saya menulis. Dari ketiga cerita di film itu, story line yang paling menarik dan saya paling bisa relate adalah percakapan antara sang dosen dan si mahasiswa. Diceritakan bahwa si dosen ini memanggil mahasiswa ini, mempertanyakan kehadirannya di kelas yang hanya sekian persen. Padahal di awal semester kelas tersebut, si dosen sangat terkesan dengan kevokalan dan kecerdasan anak ini di diskusi-diskusi yang kerap ia lakukan di kelasnya dengan para muridnya. Namun lalu anak ini menghilang, dan hanya muncul saat ujian. Si dosen bertanya kenapa. Si anak menjawab, ia kehilangan minatnya. Ia bilang, as the class goes by every week, ia menemukan bahwa politik itu omong kosong dan akhirnya berujung pada siapa yang lebih berkuasa dan berduit. Akhirnya, bukan bagaimana menemukan cara untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan dan solusi atas masalah-masalah negara, tapi lebih bagaimana menggaet yang lebih berkuasa dan menggalang dana lebih banyak untuk kampanye selanjutnya.

Akhirnya si anak memilih untuk menenggelamkan diri dengan sibuk bersosialisasi dengan grup fraternitynya dan pesta-pesta liar kampus. Si dosen menyayangkan hal ini dan berusaha meyakinkan bahwa potensinya dapat membawa perubahan. Namun si anak sudah terlanjur skeptis. Dia bilang apa gunanya mencoba jika pada akhirnya ia akan berada di posisi yang sama dengan orang-orang yang tidak pernah mencoba.
"You're saying it's better to try and fail, than failing to try, is that what you're saying, doc?"
"Yes"
"So what if I end up landing in the same spot with the people that did not try at all? What's the good in that?"
"At least you know that you DID something"
Begitu kurang lebih bunyi percakapannya kalau saya tidak salah mengutip.

Saya tertegun. Beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman mengalami perbincangan serupa. Kami membahas apakah negeri ini sudah segitu bobroknya dan segitu tidak ada lagi orang baik di pemerintahan yang dapat membawa perubahan bagi bangsa ini. Salah satu dari teman saya itu sudah begitu skeptisnya sehingga ia tidak pernah menggunakan hak suaranya. Ia berpikir tidak gunanya karena ia telah kehilangan keyakinan pada negara ini. Kamipun berdebat dengannya. Salah satu dari kami berargumen bahwa, perubahan, sekecil apapun itu, bisa dimulai dari setiap orang. Dan itu antara lain bisa dimulai menggunakan hak suara. Teman saya yang kontra itu membalas bawa orang baik itu minoritas. Dan menjadi minoritas di kancah politik adalah bukan pilihan. Teman saya yang lain dengan penuh keyakinan berkata bahwa orang baik itu selalu ada jalannya. Dan walau tidak mudah dan tidak selalu menang, seseorang tidak boleh kehilangan keyakinan akan sesuatu yang baik.

Saya tidak bisa menyalahkan teman saya yang kontra itu. Ia adalah mungkin adalah satu dari sekian banyak orang yang sudah terlanjur skeptis, sehingga menjadi apatis. Lalu kami berpikir apa yang kami dapat sumbangkan sebetulnya? Untuk membuat semuanya lebih baik? Karena kebanyakan generasi kami ternyata telah menjadi apatis. Bahkan yang sebetulnya tidak skeptis sekalipun. Serunya pembicaraan kami malem itu pun, akhirnya tidak berkonklusi pada apapun dan pembicaraan kami berpindah ke topik lain.

Have we become 'that' generation? Mengerikan ya, karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli? Kembali ke film tadi sedikit. Terdapat adegan flasback mengenai kedua mahasiswa yang menjadi sukarelawan tadi. Mereka sedang berada di muka kelas, mempresentasikan tugas yang diberikan sang dosen, dan membuka diskusi dengan mengadakan sesi tanya jawab dengan seisi kelas. Presentasinya, kalau saya tidak salah ingat, adalah mengenai membuat perubahan yang melibatkan partisipasi masyarakat dari hal terkecil. Lalu melibatkan seluruh siswa dan mahasiswa di Amerika untuk lebih aware akan dunia di luar Amerika dengan mensyaratkan satu tahun ekstra magang di luar negeri sebagai syarat kelulusan. Di penghujung presentasi tiba2 salah satu mahasiswa berkata lantang bahwa isi presentasi mereka adalah omong kosong. "I think it's bullshit. I don't think you really give a shit. With your brains, yea right after this you don't wanna make yourself lots of money. Wouldn't you want to go to Stanford Business or Harvard Law or any grad school after this?" Mereka hanya tersenyum dan memasukkan slide tambahan di over head projectornya yang bertuliskan aplikasi mereka untuk menjadi sukarelawan ke medan perang. Seisi kelaspun tercengang, termasuk sang dosen.

Pergi sebagai sukarelawan sebagai medan perang memang terdengar ekstrim, bahkan untuk si dosen sekalipun, yang sempat berusaha menghentikan kepergian kedua mahasiswanya tersebut. Si dosen lalu meneladankan kedua mahasiswa ini ke mahasiswa malasnya tadi. Bagaimana kedua mahasiswanya itu, yang berasal dari sekolah kumuh di pinggiran kota dan mendapatkan perlakuan "warga negara kelas dua" di negaranya sendiri serta mampu kuliah karena beasiswa olahraga, namun memiliki kepedulian dan jiwa patriotisme lebih tinggi dari si mahasiswa yang duduk di hadapannya yang berkulit putih, berasal dari keluarga berada dan tidak pernah mengalami diskriminasi.

Saya ingin mengumpamakan bahwa si bocah kulit putih itu adalah cerminan dari kebanyakan generasi kita. Generasi yang mempunyai otak brilian namun tidak mempunyai cukup kepedulian terhadap nasib bangsanya. Baru2 ini ada teman ngepost note di Facebook. Isi notenya adalah counter atas pernyataan temannya sebelumnya yang mengatakan bahwa reaksi masyarakat Indonesia atas terpilihnya Obama sebagai prsiden AS adalah berlebihan, dan bahwa hal itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi dirinya, karena bagaimanapun kebijakan2 Obama nantinya akan sebisa mungkin menguntungkan rakyatnya, bukan seluruh dunia (well, he can't make everybody happy). Dan yang lebih menggelikan lagi adalah sentimental rakyat kita yang merasa ada conncetion dengan Obama karena 4 tahun masa kecilnya yang dihabiskan di Jakarta. Nah, teman saya ini lalu panjang lebar membela betapa menginsirasinya Obama dan betapa ia akan membawa perubahan dan harapan ke dunia ini. Dan iapun terus mengoceeehhhh sampai ke jaman budak amerika dulu and all that constituon shit sampe saya ngerasa ini anak sbenenrya mo ngasih lecture tentang US history or what sih. Respon2 yang menangapi notenya ga kalah ribet dan ngejelimet, seperti cerdas cermat saja. Dan, semua note dan respon2nya itu, semuanya in perfect english. Widih. Dan mereka2 ini kebanyakan adalah dari kalangan praktisi dan akademisi hukum yang masih muda2! DI bawah 27 lah rata2.. Saya rasanya kagum, bangga namun lalu bertanya-tanya. Gilaaa orang2 ini pinter2 banget tapi bisakah mereka menumpahkan aspirasi mereka ini dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah mereka tahu sejarah perjuangan bangsa ini sebaik mereka mengetahui sejarah perbudakan dan hak asasi amerika? Apakah orang-orang pintar di generasi saya ini bukan milik bangsa ini lagi?

Tak lama saya mengetahui teman saya itu bahkan berniat untuk bekerja di Amerika tahun depan saat dia berencana memulai sekolah S2nya. Dan bahkan, mengganti kewarganegaraannya, jika memang kesempatan itu ada. Padahal, ayahnya adalah seorang pengacara terhormat disini yang sangat bangga akan nilai2 leluhurnya. Saya sedih. Berapa banyak lagi anak bangsa kita yang akan seperti ini? Turning their backs like this when their country needs them the most. Fenomena apa ini? Derasnya arus informasi di masa ini malah jadi bumerang terhadap bangsa ini yang semakin tidak mengenal sejrah leluhurnya sendiri.

Saya sedih, karena ternyata dalam menulis posting inipun saya belum bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal katanya saya bangga. Padahal katanya saya ingin membuat perubahan.

Jadi temans, sebagai permulaan, mari kita gunakan hak pilih kita mulai tahun depan. Dan dengan sisa keyakinan yang kita miliki, siapa yang tahu?

Kamis, 20 November 2008

When did the last time you do something for the first time?

Hidup ini cuma sekali. Sebisanya dan semasuk-akalnya, saya ingin live life to the fullest dengan selalu mencoba sesuatu yang baru, setiap ada kesempatan. Saya selalu suka akan sensasi dalam melakukan sesuatu untuk pertama kali. Mungkin maka dari itu, saya suka sekali nge-jabanin ajakan-ajakan untuk melakukan sesuatu yang saya belum pernah lakukan. Dari scubadiving, melompat dari tebing air terjun setinggi 10 meter sampai mengikuti audisi menyanyi untuk klub penyanyi broadway.

Pengalaman berikut mungkin memang terdengar remeh, tapi saya tidak pernah meremehkan pengalaman karena ia selalu dapat memperkaya hidup saya dan menjadi bahan cerita.

2 malam lalu saya mendapat telpon dari teman. Katanya saya mau tidak jadi VO talent untuk sebuah iklan yang sedang ia kerjakan. "Butuh cepat nih Tan, karena take mulai jam 9," katanya. Saya lihat jam dinding. Pukul 8.10. Saya baru saja pulang dari kantor, dan rasanya malas sekali untuk keluar rumah lagi. Lagipula saya tidak punya pengalaman sama sekali!

"Plisss dong.. Gw ga tau lagi musti nyari talent kemana lagi sedangkan take-nya musti malem ini juga. Mau yaa.. lo pasti bisa deh.Gw bilangnya lo dulu penyiar. Bilang aja lo dulu penyiar di... Brebes."
"Whaaaattttt??"
"Ya udah, cuek ya. Bentar lagi produser gw namanya anu mo telpon lo. Nanti lo langsung ke tempatnya ya di Daksa, ketemu sama Mas Rizal"
*klik

Mungkin sebagian dari kalian tahu betapa menjadi penyiar radio adalah salah satu dari sekian banyak mimpi masa kecil saya yang masih ingin saya coba wujudkan (karena menjadi Ballerina rasanya hampir tidak mungkin di usia ini). Dan saya tau biasanya jenjangnya adalah menjadi penyiar lalu menjadi VO talent, dan bukan sebaliknya. Hahahahah but the hell, it's something I just needed to take a shot at.

Setelah mengumpulkan segenap nyali, tidak sampai sejam saya sudah sampai di apa lah itu tempat rekaman suaranya. Dag dig dug. Ada cewe manis yang sedang menunggu juga. Saya sapa. Ternyata dia penyiar di Indika, VO talent untuk pekerjaan yang sama.

Saya membuka percakapan.
"Wah udah sering dong ya, jadi VO begini.."
"Iya sih.."
"Gw pertama kali nih.." Ups. waduh. harusnya saya tidak sejujur ini. abis deg2an banget, ga bisa kontrol ngomong. raut mukanya aga terkejut.
"loh, emang kerjanya apa?"
Masih senyum, tapi matanya lalu mengobservasi penampilan saya yang malam itu masih berbaju kantor.
"Konsultan hukum.. hehehe".
"Wahhh.. hahah.. jauh juga ya.."
Panik ga dianggap serius sebagai VO talent dan teringat pesan teman saya untuk mengaku sebagai mantan penyiar, sayapun menimpali, "Hehhehee eh iya.. tapi saya dulu pernah training jadi penyiar gitu sih.."
"Wah owyaaa.. dimana?"
Tadinya saya mau jawab Brebes seperti yang disarankan teman saya, tapi saya takut kalo si mbak ternyata berasal dari Brebes dan bertanya radio apa, saya akan gelagapan. Jadi sayapun menjawab asal,
"Prambors."
"Wahhhh.. gw juga dulu di Prambors 3 tahun sebelum ke Indika. Jaman kapaaann??"
MAMPUS GUEEEEEEEEEEE!!
"Oh.. eh.. owyaaa? Ehhmmm.. iyaa dulu banget gtiu sihh.. waktu SMA.. cuma magang2 gitu lah pas liburan..Trus ditawarin siaran sih, tapi ga gw ambil soalnya kuliah gw jauh di Karawaci"
Inkosistensi!! Padahal saya bilang waktu SMA, trus lompat ke kuliah. Mudah2an si mbak tidak sadar. Mudah2an dia berhenti bertanya. Kalo abis ini dia tanya kenal siapa aja di Prambors, mati gue. Untung..
"Tiitt.. titt.."
"Eh bentar ya, ada telp"
Dan pembicaraanpun terpotong karena pacar saya datang. HAHAHAHAHHA.. leganya..

Saya sengaja memintanya datang menemani untuk memberi dukungan moril. Si mbak dipanggil duluan. Saya diberi teks yang akan saya baca untuk take. Dag dig dug, saya mencoba membacanya, meminta masukan dari pacar. Setidaknya, dia kan lebih familiar dengan industri ini. Saya juga berlatih di kamar mandi. Setelah cukup confident, sayapun berusaha melupakan deg2an dengan bermain foozball sejenak.

Lagi2 asik2nya main sayapun dipanggil. Masuk ke ruangan dan langsung take. I felt that I was a natural. Hihihihi.. Setelah mendapat beberapa pengarahan, take berlangsung lancar selama kurang lebih setengah jam. I got out from that room feeling excited. I really enjoyed it! Maybe I can make this as a permanent side job. Uangnya ga seberapa, tapi sangat lumayan untuk cuap-cuap selama setengah jam. Mungkin ini adalah permulaan dari sesuatu yang baru! Or, maybe this is just going to be one time kind of thing that I'll just remember it as an interesting experience. Mungkin segalanya mungkin.. No regrets. At least I got to try something new..

When was your last first time?

Selasa, 11 November 2008

Semuanya itu berawal dari mimpi..

Dua kali saya di-msg oleh dua teman lama saya dari masa sekolah, yang berterima kasih karena saya telah menginspirasi mereka. Padahal, saya tidak terlalu dekat dengan keduanya. Teman yang pertama adalah teman di SD, teman kedua adalah teman di SMA.

Teman yang pertama meninggalkan pesan di Friendster sekitar 2-3 tahun yang lalu. Dunia yang kecil mempertemukan kami lagi karena ternyata kala itu ia tengah berpacaran dengan sodara saya. Dari saudara saya itu saya mengetahui si teman adalah seorang ballerina yang berprestasi. Mereka bertemu di sebuah pagelaran dimana teman saya itu menari dan saudara saya yang menggarap musiknya. Saya melihat-lihat profil dan foto-fotonya di Friendster yang menampilkan berbagai prestasinya.

Menjadi ballerina bukan hanya sekedar salah satu mimpi remeh masa kecil saya. I wanted to make it happen. I did my research. Saya tahu sekolah mana yang akan/perlu saya masuki untuk menjadi ballerina profesional.

Saya sempat menekuni ballet sekitar hampir 7 tahun lamanya sebelum akhirnya berhenti karena Ibu saya memasukkan ke sekolah (SMP) yang tidak memungkinkan saya menekuni ballet lagi karena panjangnya jam belajar (07.00-15.30). Sekolah saya ini adalah salah satu sekolah pertama yang menerapkan sekolah 5 hari (Sabtu libur). Hati saya hancur harus meninggalkan hobi yang sangat saya cintai dan satu2nya potensi bakat yang saya rasa saya punyai kala itu. Beberapa tahun setelahnya, saya tidak mau melihat atau mendengar apapun mengenai ballet.

Saya tidak menyalahkan Ibu saya,
walau sebagian dari diri saya ingin sekali. Di tahun ke-6 itu, saya sempat dilanda kebosanan yang luar biasa. Lalu, aktivitas tambahan belajar untuk persiapan EBTANAS di kelas 6 yang disambung dengan latihan ballet, membuat saya lelah luar biasa. Selanjutnya ya tertebak, saya jadi males2an, pura2 tidak enak badan kalau saatnya harus pergi ke tempat les ballet. Ibu saya yang khawatir saya jatuh sakit karena kelelahan padahal EBTANAS di depan mata, menawarkan apakah saya ingin berhenti ballet saja untuk sementara. Kala itu, sepertinya hal tersebut terdengar brilian, dan solusi atas segalanya. Agak ragu, sayapun mengangguk. Saat dia tanya apakah saya yakin, saya diam saja. Salah satu keputusan yang saya sesali dalam hidup saya, karena sementara lalu menjadi permanen. Kadang saya berpikir, kalau saja Ibu saya mendorong saya lebih keras (Tapi Ibu saya tidak tegaan. Dan ia takut menjadi one of those super over-obsessed parent yang mem-push anaknya terlalu keras.) Kalau saja saya mendorong diri saya lebih keras dan tidak malas2an (Tapi umur saya baru 11 tahun kala itu, I didn't know better). Kalau saja saya jujur pada Ibu saya bahwa saya rindu ballet dan ingin kembali menekuninya, dan bahwa saya tidak mau ia memasukkan saya ke sekolah SMP 5 hari itu (Tapi semua teman yang saya kenal di SD masuk ke SMP itu, dan butterfly effect of this was, saya mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Opiq).

Teman saya tadi, ia berterima kasih kepada saya karena tanpa saya sadari katanya, saya telah menginspirasinya untuk menjadi seorang ballerina (selain mari-chan, hehe). Masa2 dulu saya harus pergi ke tempat ballet langsung dari sekolah, saya harus berganti dengan 'atribut' ballet di sekolah. When I put on my little leotard, tights and tutu, teman saya ini suka memperhatikan dari jauh. Iapun berkata dalam hati, "Suatu hari nanti aku ingin menjadi ballerina sepertinya".

Teman saya tadi akhirnya bergabung dengan sekolah ballet di usia 12 tahun, saat masuk SMP. Usia yang cukup terlambat sebenarnya karena ballet sangat membutuhkan kelenturan tubuh yang akan lebih mudah diperoleh jika mulai belajar ballet di usia dini. Tapi teman saya itu membuktikan bahwa tekad dan mimpi dapat mengalahkan segalanya. Kabar terakhir yang saya dengar, ia berada di Rusia bergabung dengan one of the oldest and GREATEST ballet company in the world, the State Academic of Bolshoi. Salah satu company yang saya tuju di mimpi masa kecil saya, selain the Royal Ballet School di Inggris.

Pesan dari teman kedua baru saya dapat pagi ini. Ia meninggalkan personal message di inbox saya, setelah belum lama ini kami bertemu di Facebook dan saya menulis di wall-nya menanyakan kabarnya yang tidak saya ketahui sejak kelulusan SMA. Di pesannya ia berterima kasih pada saya karena (lagi-lagi tanpa sadar) saya telah menginspirasinya. Ia bercerita mengenai kegamangannya sewaktu pertama kali masuk SMA . Ia mengalami culture shock, karena masa SD dan SMP-nya dihabiskan di pesantren. Katanya, saya adalah orang yang menegur dia pertama (kami satu kelas). Keramahan saya membuat dia berpikir bahwa, mungkin sekolah ini tidak seburuk yang ia kira. Tahun berlalu dan walau tidak sepermainan (ohh ingatkah kalian masa2 SMA dengan politik pertemanan yang memuakkan!), hubungan kami baik. Saya selalu mengingatnya sebagai gadis berjilbab yang manis yang sering saya pinjam catatannya.

Di kelas 3 saya terbang ke Amerika untuk mengikuti pertukaran pelajar. Teman saya itu bilang, waktu penyusunan Buku Tahunan (BT), ia melihat foto saya dan ia tercenung. Panitia BT memang meminta saya mengirim foto yang menggambarkan kehidupan saya disana untuk dipajang di BT. Di foto itu katanya (saya bahkan telah lupa) saya sedang berdiri di depan locker di hallway sekolah, mengenakan baju winter dan sedang tertawa. Foto itu yang memotivasi teman saya yang ternyata selalu ingin untuk mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, namun tidak ada biaya. Setelah gagal diterima di AFS (American Field Service; organisasi pertukaran pelajar terbesar dan tertua), beberapa tahun kemudian ia terpilih mengikuti Australia Indo Youth Exchange Program, kemudian kini, beasiswa S2 di London. "Semuanya itu berawal dari mimpi. and I must say, u're one of my inspiratons. So I'd want to thank you for that. Keep being that person ya Tan, please do.." Mata saya berkaca-kaca.

Selain senang dan bangga, terbersit perasaan iri terhadap kedua teman saya tersebut. Saya merasa.. 'dilangkahi'. Saya merasa mereka telah melebarkan sayap dan terbang, dan sedangkan saya.. sempat hovering sebentar lalu kembali lagi ke tanah. GEDEBUK! Am I stuck in a moment? I refuse to. Saya harus terbang lagi.

Thank you, friends. Today, you both remind me how we must not let go of our dreams, no matter how silly they may be. Because that's where everything started. You've lived your dreams, and I know I will live mine soon..

Rabu, 05 November 2008

OBAMA menang!

Bukannya sok-sok ke-amerika2-an, tapi ini adalah peristiwa bersejarah loh. Dan kita semua saksinya.

Mudah2an tidak hanya kepada negaranya ia membawa perubahan, tapi juga pada dunia ini.

Pidatonya birilian, menyentuh hati dan membuat saya merinding. Dalam hati saya berharap, saya ingin mempunyai persaan seperti ini tahun depan. Saat presiden negara ini terpilih, atau terpilih lagi. Saat ia memberikan pidato kemenangannya. Saya ingin bangga. Saya ingin merasa bahwa harapan itu masih ada untuk bangsa dan negara ini.

Mudah2an. Amin.

Selasa, 04 November 2008

"Sumpe loo? Oww my f**in gawwwddd.. get outta here!"

Tadi pagi naik busway dari Al-Azhar seperti biasa. Trus waktu mengantri menunggu bus tiba, pas di depan saya ada gerombolan anak2 perempuan SMA Al-Azhar. Mereka berlima. Saya menguping pembicaraannya hingga kami akhirnya masuk ke dalam bus hingga akhirnya saya harus turun di halte tujuan saya. Berikut petikan kupingan saya tadi (and all of the following of course with perfect american-teenage- Movie accent). Perhatikan betapa mereka sering melakukan pengulangan kalimat Indonesia dan kalimat Inggris berturut-turut:

"Okay, okaayyy shut the fuck up you guyssss... You guys are freakin' loud."

"Eh eh eh tau ga siy loo I think my mom won't let me go to konsernya Rihanna deh"
"Awww sumpe looo? kenapaaa?"
"yea she thinks, like, gw cuma tau lagunya paling beberapaaa gt.. basi deh. sucks"
"aww ya udah lah udahhh ngapain jugaaaaa, i'm not sure i'm going."

"ahhhhhh tai bangettttt ahhh. shitttt shitt shiittt. gw tau bangettt itu cowo emang begitu udah keliatan dari mukanya. I knew it from his face!"
"trus how is she now? gimana dianya sekarang?"
"ya tauu her mom like calling me non-stop. ya mana gw tauu musti ngomong apa. I don't know what to say."
"ouwwwww eh prom gimana nih promm?"
"omigod, omigod ya oloooo bok lo jadi ambil baju waktu itu?"
"i'm not sure about the dress. tapi kayak the hair im gonna do like aga sanggul konde brantakan gitu deh. messy bun. yang kaya mischa barton dimanaaa gitu"
"omigod that is sooo cuteee. lucu banget"


*tiba-tiba bisik-bisik*
*indistinct chat*

eh tiba2..
suddenly..

"Sumpe loo? Oww my f**in gawwwddd.. get outta here!"

Hampir sebus nengok ke arah mereka.

Saya cuma menahan senyum lalu siap2 turun.

Ahhh anak muda jaman sekarang.. LOL :D

Rabu, 22 Oktober 2008

Taxi Driver's Wisdom

Saya pernah melihat buku ini di sebuah toko buku di kategori “Gift Books”. Kalau tidak salah, isinya adalah kumpulan kutipan-kutipan supir taksi di sebuah kota (atau beberapa kota) yang mengandung makna mendalam.

Di taksi yang saya tumpangi hari ini, saya berkenalan dengan Pak Eddi. Orangnya ramah, penuh senyum dan berpengetahuan luas. Usianya kira2 pertengahan tigapuluhan. Bermula dari percakapan basa-basi yang saya buka dengan “Hari ini Jakarta panas sekali ya, Pak”, kami mengobrol tentang pemanasan global, lapisan ozon yang menipis, dan bagaimana mobil yang sedang kami tumpangi adalah penyumbang terbesar polusi atas bencana dunia itu. “Kita siy sekarang belum terlalu terasa ya mbak, tapi coba bayangkan nasib anak cucu kita nanti. Prihatin, saya”.

Sayapun sampai di tujuan. Saya memintanya untuk menunggu, karena takut susah untuk mendapatkan taksi pulangnya.

Sekitar 20 menit kemudian..

“Maaf ya, pak. Lama ya nunggunya?”.

“Wah, ga terasa mbak. Saya itu orangnya tidak suka terlalu memikirkan sesuatu, apalagi jika sedang menunggu. Takut malah jadi kesal, takut malah mengumpat dalam hati. Takut dosa. Jadi seberapa macetnya jalanan, dan seberapapun lama saya menunggu, saya berusaha menemukan sesuatu yang dapat menghibur saya. Tadi, saya bermain2 dengan buah2 kecil yang jatuh di perkarangan rumah teman mbak tadi. Udah jarang loh buah tadi itu. Mbak tau tidak buah apa itu tadi?”

Saya melamun dan sambil tersenyum menggumam “Always make lemonade out of a Lemon ya, pak”.

“Eh kenapa, mbak?”

“Gapapa, Pak. Buah apa tadi itu namanya, pak?”

Ia menyebutkan sebuah buah yang saya kurang familiar.

“Jadi begitu mbak hidup di Jakarta ini. Harus selalu poisitif dan berpikir optimis. Kalau gak, bisa gila. Orang-orang di kota ini selalu marah dan mengutuk”, ujar Pak Eddi lagi tanpa nada menggurui.

Saya terinspirasi. Dan saya memang percaya betul inspirasi bisa datang dari mana saja.

Saya telah sampai kembali di kantor. Setelah membayar ongkos dan berterimakasih, dalam hati saya tersenyum dan wish Pak Eddi all the best of luck.

Reasonable VS Unreasonable

“Yes, I guess I am jealous. Am I being unreasonable (again)?”

Do we always need a reason to be jealous? Do we always need a reason to love?

In a relationship, pulling the “Un/Reasonable” card is always tricky. A couple gets into fight, the girl is jealous of the guy’s new hot co-worker, and the guy lightly says, “Honey, you’re being unreasonable, u know that?”. Another time the girl asks the guy to accompany her for a mall trip. “We’ll just go in for a quick window shopping,” the girl says. A quick window shopping turns up to be 3 hours. 3 pairs of shoes and 5 dresses later, the guy is furious, and thinks that 3 hours of shopping trip in unreasonable. The girl then replies, “Oh sure. THIS, you say unreasonable but having me to wait 5 hours at the shop while you’re getting your car done is reasonable!”

There was long silence after that. The girl’s mind goes to the early days when they just started dating. When everything was so easy, and… reasonable. It all felt so natural and reasonable when he follows her like a dog on her 5 hour shopping trip, having him to wait on her while she’s getting her nails and hair done, picks her up when she just finished shower and when finally ready an hour after he still managed to compliment her, “You look very beautiful tonight”. Now, none of them is reasonable anymore.

The guy’s mind also wandering to the early days. When she was sweet enough to accompany him at the shop while getting the car done, when she’s so loveable she shows up at his workplace to bring him and his team lunch, when she had so much trust on their love that she thinks jealousy is such a waste of time and energy.

So is it true that romance evaporates as relationship grows? Is it true in the name of efficiency, comfort, or whatever, it is okay to let romance go? I know, I know, all the things in the above are ridiculous, but they are just some random exaggerated samples of what romance is, to some couples. Some things that were considered “reasonable” during the early days of dating, just sound silly when you’re entering your 3rd year together. It just sounds silly now having to meet your girlfriend from work all the way in Bintaro while your office is in Menteng and you live in Cikini. It sounds impossible having dinner with your boyfriend in the middle of a hectic week, while your clients are constantly chasing you. And when you actually do it, it is only an obligation that you need to fulfill from the “Relationship Handbook”. Don’t you remember how you used to always find ways to make these things work?

Okay, okay, it's not like ALL THE TIME you need to do this. Maybe , maybe it's true that in the name of efficiency, and that you've reached to that certain level of "comfort" with your significant other, doing whatever you refer to "romantic acts" intensely may get a little too much.

But sometimes you don’t even realize that it’s evaporating. You just know when it’s gone. So what happens when it’s gone? Is your relationship doomed? Does the love stop? Is it the end? Not necessarily. You just simply need to click the “REFRESH” button.

*Click.

And just like that, you’ll realize that for certain things in life, you DON’T need a reason.

Senin, 20 Oktober 2008

My Morning

Hahahaha. Jadi 2 pesan moral dari cerita ini adalah: Jangan pernah terlalu pelit untuk beli sepatu dan SMILE is infectious!

Jadi pagi ini di mobil gw sudah merasakan sesuatu yang aneh dengan sepatu gw which I refer to my "busway flats". They are so worn out because I wear them everyday, to/from work with busway, through the sidewalaks of Sudirman, on rainy/hot days. I have a few pairs of these, but the ones I wore this morning were the oldest of 'em all.

Memang sayanya juga keterlaluan sih, sampe supir saya berkomentar. "itu sepatu mendingan dibuang aja deh, mbak!", tp saya pikir, "kayaknya masih bisa deh niy barang 3 hari lagi mah..". So off I went this morning. Saya didrop di al-azhar. Baru beberapa langkah berjalan menuju halte busway tiba, "klontang, klontang!!",sepotong kawat misterius mencuat dan melayang keluar dari sepatu saya! Beberapa mahasisa-mahasiswi Al-Azhar yang sedang berjalan dari arah berlawanan tak kuasa menahan senyum. Sayapun tertawa geli. Terlanjur malu, saya tendang ke semak2 potongan kawat itu, dan terus berjalan, sambil non-stop menahan senyum geli, ke halte. Semua orang yang saya temui di jalan ikut tersenyum balik sama saya. Penjual teh botol, penjual kue di tangga busway, gadis penjual karcis di loket, sampai orang2 yang berada di antrian.

Di dalam bus, saya baru memerhatikan bahwa, bagian samping luar sepatu kanan saya sudah MENGANGA. Aduh saya makin geli sendiri, nahan senyum dan nahan ketawa, ga karuan pasti muka saya tadi. Saya sampai tidak berani bergerak banyak, takut menambah parah bagian jebol itu. Pada saat ditawari tempat duduk oleh seorang pria muda yang cukup manis, saya cuma mengangguk senyum dan berterima kasih. Sementara di bus reaksi orang sekitar saya menjadi tiga macam; tersenyum balik pada saya, menghindari kontak mata dan ataupun jika kontak terjadi ia melengos salting, serta mengernyitkan dahi sambil (mungkin) berpikir "ini orang gila kali ya".

"Halte setiabudi". Ohhh akhirnya! halte saya! Dengan setengah menyeret langkah takut memperparah sepatu malangku, saya terus berjalan menuju kantor, masih senyum2 geli sendiri. Dari halte ke gedung kantor saya kira2 harus melewati 5 gedung. Lalu kira2 gedung ketiga tiba2, "srottt...", sepatu kanan saya resmi hancur brantakan! hahahahah! Bunyi sroooot tadi adalah bunyi lapisan di bawah sol sepatu saya yang akhirnya keluar jalurnya alias meloncat keluar ke trotoar. Sayapun tertawa geli terbahak-bahak sampai setengah berjongkok, di tengah ramainya trotoar Sudirman, sampai akhirnya saya membuka ransel gym saya dan berharap saya tidak lupa membawa sepatu kantor saya sebab kalau tidak saya harus memakai sepatu gym yang sangat amat tidak sesuai dikenakan dengan outfit kantor hari ini (atau hari apapun juga).

Setengah menahan malu, dan masih geli akan kebodohan saya sendiri, saya susah payah mengenakan sepatu hak saya dan dengan resmi mem-pensiunkan my "busway flats". Orang yang lalu lalang hanya turut tersenyum, ataupun memberikan tatapan, "aneh banget ini orang", tapi tetap membalas tatapan2 itu dengan kuluman senyum karena yang saya pelajari hari ini, SENYUM ITU MENULAR!

So try this, when you out there, alone, walking by the streets, queing for busway, or whatever, try to smile to every stranger that passes by you. And then if you get to the office, smile to your everyday person such as your doorman, security, cleaning lady, receptionist, secretary. The chance is they'll smile back at you, or think that you're probably crazy, but hell, why not infect people with a little bit of goodness?

Jumat, 17 Oktober 2008

The Sour Sally Phenomenon


If you Google Sour Sally, there are praises everywhere about it. Reviews, people's blogs, everywhere. I think this is quite a phenomenon, for a brand that is NOT a franchise from anywhere in the world. Sour Sally was created by an Indonesian entrepreneur, that did his homework very well. Everything is carefully thought; interior, logo, website (www.hellosoursally.com) and just the whole concept itself. Sour Sally is simply a frozen yogurt (fro-yo, i think that's the popular term they use now) parlor, with only 2 main flavors to offer: plain and green tea, with about 20 toppings of fresh fruits, cereals and chocolate chips. They also have smoothies, but I never bother trying them. (but u can get it for free by collecting stamps every minimum purchse of IDR50,000).

I'm really amazed of how many people quickly get addicted to it. First thing that attracted me and Opiq was the lime green interior. The writings and the little poster on the wall are too cute, Opiq could swear that the owner must be a designer, works in advertising, or just someone brilliant with money that is simply have good taste. (Later I found out the owner is not all that, but the part of the money and the brilliant are partly true; the rest he leaves it to www.kinetic.com.sg, good job guys!) Too bad, their shop at Senayan City is ridiculously small it can only fit about 10-12 people there, just like the angkot. So most pople have it to go. The fro-yo itself, omg. You have to try it yourself. I think people that even are not a fan of yogurt can actually dig this. It has zero fat, so it's guilt free. My friend said the point of having dessert is all the fatty stuff and the guilt you get out of it. I agree, I dig the whole eating healthy thing but leave my dessert alone. I dont do low/non fat dessert coz they mostly suck big time. But hey, how cool to get a fantastic desert that u love and it's fat free?

Tonite, an accumulation of a few bad stuff turned my evening to sour. I thought I was just gonna sleep i through it hoping tomorrow will be a better day. But oh the feeling was just so blah I didn't want to come home straight away, but I was too tired to do anything else. That's when I thought of Sour Sally. Now only 5 minutes away from my home, I could get it anytime on the way! You wouldn't believe how Sour Sally instantly lighten up my sour evening. (I know sound dense, but I'm not exaggerating. FYI this was my second visit this week) Ow thank you Sally!

Serving Suggestions: My personal preference is the plain one, instead of the green tea. On a really hot day, try the fruits topping, a combination a really strong sweet mango and the sour-sweet blueberry sauce mix are great! I also love the fruit pebbles, if I can only afford one topping. Mochi is not recommended because it really does not add any flavor to the fro-yo, only weird chewy texture. Tonite, I tried chocolate chips and strawberry sauce and it was phenomenal! Always try different combination of toppings on each visit, until you found THE ONE, it's always a nice surprise every time. Best serve with family and friends.
Damn I should get a lifetime stock of fro-yo for posting this. And from the many, many solo visits, I never get a single freakin stamp coz I never reach the minimum purchase. BAH.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Sudahkah kau menemukan Lentera Jiwamu?

LENTERA JIWA

taken from: http://kickandy com/?ar_id= MTEzOA==

Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin
redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang
yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena ¡pecah kongs dengan Surya
Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak
menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan power
yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita,
tiba-tiba saya mengundurkan diri.

Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang
beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah
Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang
kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan
diri dari Metro TV.

Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa
mengapa saya keluar dari Metro TV. Andy ibarat ikan di dalam kolam.
Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan
tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.

Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak
lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya
ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi
Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka
hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu
selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan
habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika
keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain.
Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun
persediaan keju tidak akan pernah habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat
lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan oleh
seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak
perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia
memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang
hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu
sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi
sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak
dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi
perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah,
dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.

Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang
mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang
selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari keju itu sudah
tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti lentera jiwa saya.
Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.

Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang dinyanyikan
Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin
disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah
sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.
Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa
tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang
sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing,
mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata
tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya ada di ajang
pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai
dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah
mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia
tidak bahagia.

Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga
menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka
tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi
apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata
putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling
banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka
tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.

Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008),
kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar
dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan
Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis
untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih
menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya
sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini
memiliki restoran sendiri. Saya sangat bahagia dengan apa yang saya
kerjakan saat ini, ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara
mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.

Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat
beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi.
Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka
mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.Simak juga bagaimana Gde Prama
memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan
komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku
ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai
public speaker.

Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan
yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak
tahu bagaimana cara mencapainya.

Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup. Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi.
Gembira terus. Nggak ada capeknya, ujar Yon Koeswoyo, salah satu
personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone.
Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak
heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu
melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. Semua karena
saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya.
Hidup saya, katanya.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka
yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah
menemukan lentera jiwa mereka.[
]

Seorang teman baik mengirimi saya artikel di atas beberapa minggu lalu via e-mail. Saya berpikir ia mengirimi artikel ini untuk salah satu dari 2 alasan berikut atau bahkan keduanya: (1) ia tahu saya adalah pengaggum Andi F. Noya; dan (2) ia melihat saya sebagai sang tikus pemalas di artikel. Hahaha, untuk alasan yang manapun, sejak membaca artikel ini saya telah melakukan surevy kecil2an. Artikel sederhana ini membuat saya tercenung sekaligus memberi saya inspirasi. Saya forward tulisan ini ke beberapa teman. Beberapa di antaranya membalas dengan jawaban senada, "Adduhhhhhh bener banget. Abis mau gimana lagi, dong?".

Saya lalu berpikir. Berapa persen dari kita2 ini yang benar2 mencintai pekerjaannya? Berapa orang yang kamu tahu dalam hidup kamu, yang melakukan pekerjaannya didasari cinta murni, tanpa keterpaksaan dan tekanan, dan MASIH MENGHASILKAN KEHIDUPAN YANG LAYAK?

Saya tahu beberapa orang. Pacar saya, seorang art director di sebuah perusahaan periklanan multinasional. Bakatnya sudah terlihat dari jaman sekolah dulu. Walau lulusan teknologi informasi, hatinya tidak bisa bohong. Di tengah keraguan, saya mendorongnya untuk mengejar mimpinya. He is now a fast rising star. Bahagiakah ia? On most good days, yes. Bayangkan, dibayar untuk melakukan sesuatu yang kamu suka. Dia jarang mengeluh mengenai pekerjaannya yang tak kenal waktu itu. Keluhan atas kelakuan klien yang kayak taik dan semaunya mah biasa. Di setiap kerjaan juga pasti ada begitu. Penghasilan terhitung lumayan, bahkan dapat dibilang lebih dari cukup (tergantung gaya hidup). Puaskah ia? Untuk sekarang, mungkin iya. (tanya sendiri ke orangnya kalau anda kenal). Tapi tentunya tidak selamanya kau dapat memainkan idealismemu di tempat kerja. Masih ada atasan yang harus dibuat senang, masih ada klien yang punya duit. Pacar saya masih punya sejuta obsesi lainnya seperti menjadi penulis, pemusik, memiliki usaha sendiri dan mengawini saya (katanya sih).

Lalu ada kakak saya. Seorang investment banker kelas dunia yang kini bermukin di Singapura. Jabatan yang tertera di kartu namanya membuat orang menaikkan alis dan segera membungkuk hormat, diperolehnya saat ia belum genap berusia 27. Semua adalah murni hasil kerja kerasnya dan merupakan kristalisasi mimpinya sejak ia masih harus mencuci piring di sebuah resroran italia untuk uang tambahan karna uang kiriman orangtua kami hanya cukup untuk bayar sekolah dan buku. Sekarang penghasilannya sudah jauh lebih dari cukup untuk membeli sebuah restoran italia dan menggaji selusin pencuci piring. Saya tidak bisa membayangkan kakak saya mengerjakan pekerjaan lain. Saya cukup yakin ia telah menemukan lentera jiwanya.

Terakhir saya punya sodara yang memilih jalur musik untuk menafkahi hidupnya. Cukup mendapat perlawanan pada awalnya, apalagi keluarga besar kami yang mengaku cukup demokratis ternyata masih kolot dalam memandang hal begini. Kesuksesan hampir selalu diukur dengan kemeja berdasi dan kantor di bilangan sudirman. Bagaimana sodaraku tadi tidak dipandang sebelah mata. Untung bapaknya lebih berpikiran terbuka dan akhirnya mengjinkan sodaraku itu bersekolah musik serta meninggalkan kuliah hukumnya yang sudah 2 tahun berjalan. Kini sodara saya adalah termasuk musisi jazz berbakat yang cukup disegani di komunitasnya. Ia tak pernah menyesal dengan pilihannya. This is it for him. Penghasilannya juga lumayan, walau ibunya di acara keluarga kami suka dengan nyinyir berkata, "Yahhh si (sebut saja namanya) Timbul itu sak iki ya ora ono opo2ne duite kalo dibanding dulu dia itu nurut ama aku kuliah hukum trus abis itu S2 di Belanda. Jadi pengacara2 ngono iku loh! Tapi yo wis ben, maune ngono, bapaknya ya wis setuju, akune bisa opo.. ".

Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari cerita2 saya? Saya akan mengutip dari artikel di atas, "beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup."

Sungguh, saya harap saya adalah salah satu dari golongan orang2 tersebut. Usia saya kini 25 tahun, bekerja pada salah satu firma hukum terbesar di Indonesia sebagai konsultan hukum bisnis yang oh! sangat bergengsi, dan setiap hari saya harus menyemangati diri saya tiap pagi untuk pergi ke kantor dengan terus meyakinkan diri bahwa ini hanya sesuatu yang sementara. Bahwa pekerjaan ini hanyalah sebuah proses yang harus saya jalani sebelum suatu hari nanti saya akhirnya (berani) mengejar lentera jiwa saya sebelum padam selamanya.

Benang merah dari ketiga orang di dalam cerita saya adalah mereka semua tahu apa yang mereka inginkan sedari awal. Dan mereka memiliki kemampuan untuk itu. Dari situlah tekad mereka timbul. Lalu bagaimana dengan orang2 yang tidak dikaruniai itu semua? Bagaimana nasib orang2 yang terjebak dengan sistem dan pakem dan terlalu takut untuk keluar darinya?

Memang manusia tidak pernah puas. Bahkan orang2 yang telah menemukan lentera jiwanya pasti masih memiliki obesesi2 lain. Saya bersyukur dan sangat berterima kasih pada Tuhan bahwa di jaman susah seperti ini saya memiliki pekerjaan dengan penghasilan bagus. Jadi, ini bukan soal tidak pernah puas, lupa bertrimakasih atau lalai bersyukur. Ini mengenai... apapun lah ini namanya. Saya cuma lagi mood untuk ngoceh.

Andy F. Noya telah mengundurkan diri sebagai Pimpinan Redaksi Metro TV. Tapi Kick Andy jalan terus, terus menularkan inspirasi dan menyentuh hati orang banyak, untuk membuat perubahan. Selain Kick Andy, kini Andy juga mengurus majalah Rolling Stone (yang ternyata sebagian dimilikinya). Di Kompas Minggu 21 September, profilnya ditampilkan. Dalam wawancara sang pewawancara menyayangkan keputusannya padahal Andy adalah "anak emas" Surya Paloh. Andy cuma menanggapi, "Ah. Tapi saya sudah menemukan lentera jiwa saya", ujarnya seraya tersenyum lebar.

Saya iri. Tapi rasa iri ini akan saya jadikan pecutan. Pegang kata2 saya. Suatu hari nanti, giliran saya yang akan berkata begitu. Lihat saja.

Minggu, 25 Mei 2008

Middle Class Worker I am

Atas nama penghematan karena naiknya harga BBM yang cukup signifikan (75rb untuk segaris saja!!!). Saya bosan menghujat dan memprotes seperti orang2 lain, karena yang sudah terjadi ya sudah lah, mau diapakan lagi, jadi kenapa saya tidak mencoba untuk bersikap positif.

Pertama saya mau mengucapkan terima kasih kepada Pak Presiden dan Pak Wakil serta semua bapak2 dan ibu2 di pemerintahan sana, saya yakin anda2 juga terpaksamelakukan ini dan mendapat teknan2an dari pihak tertentu, tapi saya (ingin) percaya bahwa bapak2 dan ibu2 sekalian sebagai perwakilan kami telah berusaha sebisanya untuk memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Saya tahu ini adalah kebijakan yang tidak mudah, tapi memang harus dilakukan. Mudah2an Tuhan masih melindungi negara dan bangsa ini. Amin.

Kedua, sayapun lalu mengambil keputusan bahwa saya tidak bisa lagi enak2an ke kantor dengan diantar supir. Saya mau membiasakan diri naik busway. Sebenarnya saya sudah cukup akrab dengan kendaraan umum yang terbukti (untuk saya) cukup efektif ini. Karena tiap pulang kantor (pada jam manusiawi) saya selalu menggunakan jasanya. Tapi saya mengakui saya manja. Karena untuk berangkat ke kantor, saya masih insist untuk diantar supir (yes I don't/can't drive, damnit! hahah) dengan 1 joki dari rumah (si mbak) dengan alasan malas kalau pagi2 harus udah "ribet2 " dan sampai ke kantor dengan aga berkeringat dan setengah ngos2an.

Akhirnya tadi pagi saya menyemangatkan diri untuk mencoba. Kali ini saya coba halte Al-Azhar (waktu itu saya coba dari Blok M tapi hasilnya kurang menyenangkan karena antriannya agak parah). Antrian hampir tidak ada, and I got in the bus in no time. Harapan untuk dapat tempat duduk memang tidak terlalu besar, tapi saya tidak terlalu pusing karena kantor saya terhitung dekat. Lalu yang bikin deg2an adalah jalan dari halte ke kantor. Ini dia bagian yang bikin keringetan dan ngos2an. Saya membuat pengamatan kecil, darimana arah sinar matahari (saya tahu memang harusnya arahnya dari Timur, but I have bad orientation) sehingga saya bisa memilih halte apa saya akan turun (sebelum atau sesudah kantor) sehingga saya bisa membelakangi matahari dan tidak harus berhadapan dgn sinar matahari yang menyilaukan mata dan membuat muka keringetan.

Matahari ternyata berasal dari arah Timur (alias arah Thamrin), berarti lebih baik saya turun di halte yang terletak sesudah kantor saya (Setiabudi) sehingga saya akan jalan kembali ke arah kantor dengan membelakangi matahari. Yeayyyyy!!!! Sampai kantor sukses dengan minyak kulit muka yang minimum dan hampir tidak berkeringat (produksi keringat saya memang sedikit), dan tidak ngos2an sama sekali. I guess my body is in quite good shape. Sepanjang perjalanan tadi I can't help thinking, "Hahahahaha so middle class worker I am". But I guess this is reality. I had been lucky, and I still consider myself lucky karena masih sanggup naik busway yg tergolong decent dan ber-AC, dan tidak perlu berdesak-desakan di bus umum lain yang menurut saya, hampir tidak layak ditumpangi manusia.

Jadi terima kasih Pak Presiden, Pak Wakil, bapak2 dan ibu2 pemerintahan. Walaupun mungkin kenaikan BBM ini tidak mempunyai dampak langsung ke bapak2 dan ibu2 (yah setidaknya bapak2 dan ibu2 tidak mungkin turun derajat dan jadi naik kendaraan umum seperti saya, kan?), setidaknya dengan naik kendaraan umum saya memaksakan badan saya untuk lebih banyak bergerak dengan berjalan kaki dan turut berpatisipasi dalam melestarikan lingkungan dengan meminimalisasi polusi udara.

Kamis, 22 Mei 2008

When was your last good cry?

I am talking about a good, menye-menye, memble cry.. Yang sampe menguras tenaga sampe akhirnya lo ketiduran gara2 kecapean nangis. Hahahahahah.. I haven't done this for quite some time, and I finally did it 2 nights ago, for no particular reason, except for a few pending thoughts that have been at the back of my head for quite some time.. and PMS.

I was surprised how therapeutic crying could be. I woke up the next morning feeling so much better than the previous days, when all I felt was drained.. Emotionally drained..

Makanya, menurut gue, if you feel like crying, cry your ass off.. Holding back you emotions will not do you any good.

Happy crying!

Senin, 05 Mei 2008

Susahnya Me-maintain Pertemanan (Missing the Zsa Zsa Zsu of Friendship)


She is a long-time dear friend that I've known since elementary school. She was my soul mate, my other half. We believed we actually shared the same soul but separated in two different bodies. We were inseparable throughout the years of our school days. And then came college. We went to different campus. We met new people. New friends. And next thing I knew we were going separate ways. We grew apart. We suddenly liked different things and only had few things in common. And we used to have everything in common. And I mean everything.

Frekuensi "ngopi2 wajib" berkurang drastis. Curhat2 panjang dan catch up di telfon jadi mulai susah dilakukan. Semua yang tadinya "selalu" dan "wajib" pelan-pelan digantikan dengan "jarang" dan "gak pernah lagi". Partly, I blame my campus that is located so far away, her demanding boyfriends, my lack of driving skill, her abnon activities, my part time job, her new girlfriends, etc, etc.. But really, there was no one or nothing to blame. Tapi, bukannya kita jadi musuhan atau tidak bertemu sama sekali. We would occasionally bumped into each other somewhere. Cipika cipiki, catch up sebentar, lalu cipika cipiki pamitan karna mulai panik kehabisan bahan pembicaraan. Lalu kami juga masih sms-an, at least pada bulan april dan agustus (our birthday months). Hmm not so much talking on the phone, though. There are no more zsa zsa zsu left in us.

Sedih juga kalo dipikir-pikir memang. Tapi memang tidak ada yg perlu disesali. I guess it's a part of growing up (which sucks). I couldn't stop thinking when did we really stop hangin out or stop connecting. It's really weird how I used to be at her place and talking on the phone with her all the time, and I mean, ALL THE TIME. Friendship, I learned eventually, like any relationship (boyfriend, parents, siblings, workmates, etc) always needs work. It takes effort. And sometimes, no matter how hard you try, mungkin emang jodohnya sampe situ aja.

Belom lama ini, ayahanda seorang sahabat kami di SMA wafat. Kami janjian bertemu di rumah duka dan pulangnya saya antar dia ke rumahnya. Saya mampir ke kamarnya yang dulu hampir tiap hari saya kunjungi. Tidak banyak berubah, bahkan aromanyapun masih sama. Hanya kini tampak lebih besar karena ia menjebol dinding kamar sebelahnya. Ia lalu menunjukkan frame foto sepanjang kurang lebih 2 meter yang isinya semua koleksi potongan foto teman2nya dari masa sekolah hingga kuliah. Foto saya tampak terpapampang banyak sekali disitu, menunjukkan betapa dekatnya kami dulu. Saya menangis dalam hati. Ingin rasanya mengulang masa-masa itu. Dan betapa keadaan kini telah berubah.

But hey u know.. My love for you has never changed since God knows when we started being friends. Wish you all the best for the coming future.. Mwah.

Minggu, 04 Mei 2008

Perfect Day Begins With Perfect Songs

Don't you love it when you play your Ipod on shuffle in the beginning of your day on the way to work or wherever you need to be that day and it just plays all the right songs so you don't have to keep pressing >> to the next song?

On the way to work this morning, my ipod did just that. And almost each song reminded of of something/someone. My 1 hour ride to the office turns into a joyride!

1st song was : "Anyone Else But You" , Michael Cera and Ellen Paige (originally by Moldy Peaches).

This one is Juno's soundtrack and I love the sounds in the movie as much as I love the movie. I played it about 7 times just because it gave the warm fuzzy feeling remembering the scenes from the movie.. I thought of my boyfriend in the "part time lover full time friend" part.. and thinking how the awkward relationship between Juno and Bleeker somehow remind me of myself and opiq during middle school days, 10-11 years ago.. kikikikikkk

2nd song was : "Merintih Perih", Sore, Ports of Lima.

I had goosebumps when I llistened to this song. The lyrics were beautiful and in a way you can feel the pain.. I replayed it about a few times and noticed the crazy flute sounds.. As I listened more to their 2nd album and saw them live at their launching recently, I fell even more in love with this band. Magnifico!

3rd song was.. "Till There Was You", Beatles.

I thought of my dad. We danced to this song once and told me that this was originally a broadway song.

4th song was "Waters of March", Joao & Astrud Gilberto.

I smiled. I remember I put this song in a video I made for parents' anniversary party recently. This part was the part when the video showed pictures of my folks wayyyyy wayyyy back then and how they met.

5th song was "Be My Baby", Vanessa Paradis

One of my morning songs. Always gets me going.

6th song was "Mr. Sandman", the Puppini Sisters

I love all versions of this song. And I love all songs by Puppini Sisters. THey're so cuteee.. 50's pin up girlss.. check www.thepuppinisisters.com.

7th song was "Ain't No Mountain HIgh Enough", Marvin Gaye

Sing a long of all timeeeeeeee...

8th song was "You Belong To Me", Tika

Again I thought of my dad. My dad became Tika's #1 because of this tracks. So happy that he could finally saw her singing it live at the anniversary party. Thanks Tikkkssssss...

9th song was "Regret", New Order

I suddenly remember a weird fact about this song. Anybody remember that this was Buana Jaka's soundtrack? A sinetron in RCTI early days about a few cool dudes (in that era) living together.. (I could only remember Bucek Depp, I think Ari Sihasale was also in it.. Couldn't remember).

10th song was "A Well Respected Man", The Kinks
another Juno soundtracckk..

11th song was "Change", Lightning Seeds
Sampe kantorrr dehhhh..

Have a nice day everyone!!!! :)

Senin, 07 April 2008

Wrapping Up My (Extended) Weekend

Don't you looovvveeee that warm fuzzy feeling you get after watching a good, light-hearted movie? Tonite i got that feeling twice. After a few chaotic weeks preparing my parents' suprise anniversary party (that finally went well last nite - thanks to everyone participated to it), I decided to take a day off today from work to just.. unwind.

After a whole day laying down in the couch watching whatever on tv, eating whatever and falling asleep numoreous of times, finally pulled my self up to take a shower and prepare my mind to get back to work (seriously, after a marathon of infotainments (E! news, kabar kabari, kasak kusuk, u name it) and a few sitcom sinetrons you can actually began to feel that your brain is in asleep).

So I opened some dvd's i had purchased weeks ago and ended up with Juno and Dan in Real Life. Both gave me that nice warm fuzzy feeling. Like sipping a cup of hot chocolate. Like a hug from old friend. Like eating a hot chicken soup in a rainy day. Perfect to wrap up the (extended) weekend. Both movies have great music scoring.. All soundtracks in Dan are by Sondre Lerche. Nice. I want him to be my wedding singer.

Have to wake up in 5,5 hours. Reality here I come..

Kamis, 27 Maret 2008

KUTU-KUTU

Okaay. This is weird. Hari ini di kantor saya (and apparently my other co-workers) merasa tidak produktif dan sulit berkonsentrasi jadi kami mulai berkumpul di satu meja dan berdiskusi ngalor ngidul tentang apa saja. Pembahasan tiba2 sampai mengenai KUTU. Salah seorang dari kami tiba2 bertanya pada saya "Tan, lo dulu waktu kecil kutuan gak?". Merasa tidak pernah ya saya jawab tidak pernah. "Ah masa sihhh? Semua orang waktu kecil pasti kutuan lagi. Tapi kalo cowo jarang. Soalnya mereka rambutnya pendek". Lalu saya mulai diolok-olok kalo waktu kecil dulu saya anak rumahan dan tidak pernah main keluar. Saya sewot,"Gini2 gw dulu aktif banget maen ama anak2 komplek sampe keling." Lalu sayapun menambahkan mungkin karena dari kecil rambut saya pendek. Lalu saya mulai bimbang. "Pernah ga siy gue?" pikir saya. Sayapun bertanya seperti apa rasanya kutuan. Dan apa treatmentnya. Mungkin ingatan saya bisa me-recall. "Pokoknya kepala lo gatel buanget, and u can actually feel those fleas walking arnd your head. Trus treatmentnya biasanya dipakein peditox, trus dibiarin semlman sampe pagi2nya si kutu2 itu rontok dgn sendirinya". Hiiiiiyyyy. But no. Still doesn't ring a bell. At this point saya cukup yakin kalo pernah saya pasti recall pernah mengalami semua itu. Apa saya masih terlalu keci untuk mengingatnya? Temen saya gigih. Dia bertanya hampir ke semua orang di kantor, dan hasilnya SEMUA koresponden wanita yang dia tanya menyatakan mereka pernah kutuan. Dan yang laki-laki tidak. Akhirnya saya menelepon ibu saya untuk konfirmasi. Dan (fiuh) beliau meyakinkan saya kalau anak-anaknya TIDAK PERNAH ADA YANG KUTUAN. Saya lega tapi sekaligus merasa alienated. Lega karena berarti mama saya (dan babysitter yang turut mengasuh saya) berarti melaksanakan tugasnya dengan baik dalam merawat saya. Alienated karena saya jadi merasa aneh sendiri di antara orang2 yang masa kecilnya pernah kutuan. Saya jadi dijuluki anak mami. Hahhwuhauhaa. Brengsek.

So, penasaran saya. Pernahkah kamu kutuan sewaktu kecil?