Jumat, 28 November 2008

Apatis Ria

Semalam saya menonton Lions for Lambs. Film yang bercerita mengenai kebijakan politik Amerika terhadap "war on terror" di Iraq dan Afghanistan. Si Tom Cruise berperan sebagai senator ambisius yang sedang diwawancara oleh jurnalis senior yang diperankan oleh Meryl Streep. Lalu ada Robert Redford sebagai dosen ilmu politik yang sedang berdiskusi 4 mata dengan salah sau muridnya. Sementara itu, di belahan dunia lain, terdapat 2 mantan murid si dosen yang mendaftar sukarela untuk berpatisipasi dalam perang melawan teror itu, a hispanic and an african-american, yang sedang berjuang mati-matian di garis musuh karena tertinggal pasukannya.

Filmnya lumayan. Sarat akan dialog2 berat bermuatan politik yang tidak sepenuhnnya saya mengerti yang sangat mungkin mengandung propaganda. Tapi bukan itu yang ingin membuat saya menulis. Dari ketiga cerita di film itu, story line yang paling menarik dan saya paling bisa relate adalah percakapan antara sang dosen dan si mahasiswa. Diceritakan bahwa si dosen ini memanggil mahasiswa ini, mempertanyakan kehadirannya di kelas yang hanya sekian persen. Padahal di awal semester kelas tersebut, si dosen sangat terkesan dengan kevokalan dan kecerdasan anak ini di diskusi-diskusi yang kerap ia lakukan di kelasnya dengan para muridnya. Namun lalu anak ini menghilang, dan hanya muncul saat ujian. Si dosen bertanya kenapa. Si anak menjawab, ia kehilangan minatnya. Ia bilang, as the class goes by every week, ia menemukan bahwa politik itu omong kosong dan akhirnya berujung pada siapa yang lebih berkuasa dan berduit. Akhirnya, bukan bagaimana menemukan cara untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan dan solusi atas masalah-masalah negara, tapi lebih bagaimana menggaet yang lebih berkuasa dan menggalang dana lebih banyak untuk kampanye selanjutnya.

Akhirnya si anak memilih untuk menenggelamkan diri dengan sibuk bersosialisasi dengan grup fraternitynya dan pesta-pesta liar kampus. Si dosen menyayangkan hal ini dan berusaha meyakinkan bahwa potensinya dapat membawa perubahan. Namun si anak sudah terlanjur skeptis. Dia bilang apa gunanya mencoba jika pada akhirnya ia akan berada di posisi yang sama dengan orang-orang yang tidak pernah mencoba.
"You're saying it's better to try and fail, than failing to try, is that what you're saying, doc?"
"Yes"
"So what if I end up landing in the same spot with the people that did not try at all? What's the good in that?"
"At least you know that you DID something"
Begitu kurang lebih bunyi percakapannya kalau saya tidak salah mengutip.

Saya tertegun. Beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman mengalami perbincangan serupa. Kami membahas apakah negeri ini sudah segitu bobroknya dan segitu tidak ada lagi orang baik di pemerintahan yang dapat membawa perubahan bagi bangsa ini. Salah satu dari teman saya itu sudah begitu skeptisnya sehingga ia tidak pernah menggunakan hak suaranya. Ia berpikir tidak gunanya karena ia telah kehilangan keyakinan pada negara ini. Kamipun berdebat dengannya. Salah satu dari kami berargumen bahwa, perubahan, sekecil apapun itu, bisa dimulai dari setiap orang. Dan itu antara lain bisa dimulai menggunakan hak suara. Teman saya yang kontra itu membalas bawa orang baik itu minoritas. Dan menjadi minoritas di kancah politik adalah bukan pilihan. Teman saya yang lain dengan penuh keyakinan berkata bahwa orang baik itu selalu ada jalannya. Dan walau tidak mudah dan tidak selalu menang, seseorang tidak boleh kehilangan keyakinan akan sesuatu yang baik.

Saya tidak bisa menyalahkan teman saya yang kontra itu. Ia adalah mungkin adalah satu dari sekian banyak orang yang sudah terlanjur skeptis, sehingga menjadi apatis. Lalu kami berpikir apa yang kami dapat sumbangkan sebetulnya? Untuk membuat semuanya lebih baik? Karena kebanyakan generasi kami ternyata telah menjadi apatis. Bahkan yang sebetulnya tidak skeptis sekalipun. Serunya pembicaraan kami malem itu pun, akhirnya tidak berkonklusi pada apapun dan pembicaraan kami berpindah ke topik lain.

Have we become 'that' generation? Mengerikan ya, karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli? Kembali ke film tadi sedikit. Terdapat adegan flasback mengenai kedua mahasiswa yang menjadi sukarelawan tadi. Mereka sedang berada di muka kelas, mempresentasikan tugas yang diberikan sang dosen, dan membuka diskusi dengan mengadakan sesi tanya jawab dengan seisi kelas. Presentasinya, kalau saya tidak salah ingat, adalah mengenai membuat perubahan yang melibatkan partisipasi masyarakat dari hal terkecil. Lalu melibatkan seluruh siswa dan mahasiswa di Amerika untuk lebih aware akan dunia di luar Amerika dengan mensyaratkan satu tahun ekstra magang di luar negeri sebagai syarat kelulusan. Di penghujung presentasi tiba2 salah satu mahasiswa berkata lantang bahwa isi presentasi mereka adalah omong kosong. "I think it's bullshit. I don't think you really give a shit. With your brains, yea right after this you don't wanna make yourself lots of money. Wouldn't you want to go to Stanford Business or Harvard Law or any grad school after this?" Mereka hanya tersenyum dan memasukkan slide tambahan di over head projectornya yang bertuliskan aplikasi mereka untuk menjadi sukarelawan ke medan perang. Seisi kelaspun tercengang, termasuk sang dosen.

Pergi sebagai sukarelawan sebagai medan perang memang terdengar ekstrim, bahkan untuk si dosen sekalipun, yang sempat berusaha menghentikan kepergian kedua mahasiswanya tersebut. Si dosen lalu meneladankan kedua mahasiswa ini ke mahasiswa malasnya tadi. Bagaimana kedua mahasiswanya itu, yang berasal dari sekolah kumuh di pinggiran kota dan mendapatkan perlakuan "warga negara kelas dua" di negaranya sendiri serta mampu kuliah karena beasiswa olahraga, namun memiliki kepedulian dan jiwa patriotisme lebih tinggi dari si mahasiswa yang duduk di hadapannya yang berkulit putih, berasal dari keluarga berada dan tidak pernah mengalami diskriminasi.

Saya ingin mengumpamakan bahwa si bocah kulit putih itu adalah cerminan dari kebanyakan generasi kita. Generasi yang mempunyai otak brilian namun tidak mempunyai cukup kepedulian terhadap nasib bangsanya. Baru2 ini ada teman ngepost note di Facebook. Isi notenya adalah counter atas pernyataan temannya sebelumnya yang mengatakan bahwa reaksi masyarakat Indonesia atas terpilihnya Obama sebagai prsiden AS adalah berlebihan, dan bahwa hal itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi dirinya, karena bagaimanapun kebijakan2 Obama nantinya akan sebisa mungkin menguntungkan rakyatnya, bukan seluruh dunia (well, he can't make everybody happy). Dan yang lebih menggelikan lagi adalah sentimental rakyat kita yang merasa ada conncetion dengan Obama karena 4 tahun masa kecilnya yang dihabiskan di Jakarta. Nah, teman saya ini lalu panjang lebar membela betapa menginsirasinya Obama dan betapa ia akan membawa perubahan dan harapan ke dunia ini. Dan iapun terus mengoceeehhhh sampai ke jaman budak amerika dulu and all that constituon shit sampe saya ngerasa ini anak sbenenrya mo ngasih lecture tentang US history or what sih. Respon2 yang menangapi notenya ga kalah ribet dan ngejelimet, seperti cerdas cermat saja. Dan, semua note dan respon2nya itu, semuanya in perfect english. Widih. Dan mereka2 ini kebanyakan adalah dari kalangan praktisi dan akademisi hukum yang masih muda2! DI bawah 27 lah rata2.. Saya rasanya kagum, bangga namun lalu bertanya-tanya. Gilaaa orang2 ini pinter2 banget tapi bisakah mereka menumpahkan aspirasi mereka ini dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah mereka tahu sejarah perjuangan bangsa ini sebaik mereka mengetahui sejarah perbudakan dan hak asasi amerika? Apakah orang-orang pintar di generasi saya ini bukan milik bangsa ini lagi?

Tak lama saya mengetahui teman saya itu bahkan berniat untuk bekerja di Amerika tahun depan saat dia berencana memulai sekolah S2nya. Dan bahkan, mengganti kewarganegaraannya, jika memang kesempatan itu ada. Padahal, ayahnya adalah seorang pengacara terhormat disini yang sangat bangga akan nilai2 leluhurnya. Saya sedih. Berapa banyak lagi anak bangsa kita yang akan seperti ini? Turning their backs like this when their country needs them the most. Fenomena apa ini? Derasnya arus informasi di masa ini malah jadi bumerang terhadap bangsa ini yang semakin tidak mengenal sejrah leluhurnya sendiri.

Saya sedih, karena ternyata dalam menulis posting inipun saya belum bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal katanya saya bangga. Padahal katanya saya ingin membuat perubahan.

Jadi temans, sebagai permulaan, mari kita gunakan hak pilih kita mulai tahun depan. Dan dengan sisa keyakinan yang kita miliki, siapa yang tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar