Selasa, 11 November 2008

Semuanya itu berawal dari mimpi..

Dua kali saya di-msg oleh dua teman lama saya dari masa sekolah, yang berterima kasih karena saya telah menginspirasi mereka. Padahal, saya tidak terlalu dekat dengan keduanya. Teman yang pertama adalah teman di SD, teman kedua adalah teman di SMA.

Teman yang pertama meninggalkan pesan di Friendster sekitar 2-3 tahun yang lalu. Dunia yang kecil mempertemukan kami lagi karena ternyata kala itu ia tengah berpacaran dengan sodara saya. Dari saudara saya itu saya mengetahui si teman adalah seorang ballerina yang berprestasi. Mereka bertemu di sebuah pagelaran dimana teman saya itu menari dan saudara saya yang menggarap musiknya. Saya melihat-lihat profil dan foto-fotonya di Friendster yang menampilkan berbagai prestasinya.

Menjadi ballerina bukan hanya sekedar salah satu mimpi remeh masa kecil saya. I wanted to make it happen. I did my research. Saya tahu sekolah mana yang akan/perlu saya masuki untuk menjadi ballerina profesional.

Saya sempat menekuni ballet sekitar hampir 7 tahun lamanya sebelum akhirnya berhenti karena Ibu saya memasukkan ke sekolah (SMP) yang tidak memungkinkan saya menekuni ballet lagi karena panjangnya jam belajar (07.00-15.30). Sekolah saya ini adalah salah satu sekolah pertama yang menerapkan sekolah 5 hari (Sabtu libur). Hati saya hancur harus meninggalkan hobi yang sangat saya cintai dan satu2nya potensi bakat yang saya rasa saya punyai kala itu. Beberapa tahun setelahnya, saya tidak mau melihat atau mendengar apapun mengenai ballet.

Saya tidak menyalahkan Ibu saya,
walau sebagian dari diri saya ingin sekali. Di tahun ke-6 itu, saya sempat dilanda kebosanan yang luar biasa. Lalu, aktivitas tambahan belajar untuk persiapan EBTANAS di kelas 6 yang disambung dengan latihan ballet, membuat saya lelah luar biasa. Selanjutnya ya tertebak, saya jadi males2an, pura2 tidak enak badan kalau saatnya harus pergi ke tempat les ballet. Ibu saya yang khawatir saya jatuh sakit karena kelelahan padahal EBTANAS di depan mata, menawarkan apakah saya ingin berhenti ballet saja untuk sementara. Kala itu, sepertinya hal tersebut terdengar brilian, dan solusi atas segalanya. Agak ragu, sayapun mengangguk. Saat dia tanya apakah saya yakin, saya diam saja. Salah satu keputusan yang saya sesali dalam hidup saya, karena sementara lalu menjadi permanen. Kadang saya berpikir, kalau saja Ibu saya mendorong saya lebih keras (Tapi Ibu saya tidak tegaan. Dan ia takut menjadi one of those super over-obsessed parent yang mem-push anaknya terlalu keras.) Kalau saja saya mendorong diri saya lebih keras dan tidak malas2an (Tapi umur saya baru 11 tahun kala itu, I didn't know better). Kalau saja saya jujur pada Ibu saya bahwa saya rindu ballet dan ingin kembali menekuninya, dan bahwa saya tidak mau ia memasukkan saya ke sekolah SMP 5 hari itu (Tapi semua teman yang saya kenal di SD masuk ke SMP itu, dan butterfly effect of this was, saya mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Opiq).

Teman saya tadi, ia berterima kasih kepada saya karena tanpa saya sadari katanya, saya telah menginspirasinya untuk menjadi seorang ballerina (selain mari-chan, hehe). Masa2 dulu saya harus pergi ke tempat ballet langsung dari sekolah, saya harus berganti dengan 'atribut' ballet di sekolah. When I put on my little leotard, tights and tutu, teman saya ini suka memperhatikan dari jauh. Iapun berkata dalam hati, "Suatu hari nanti aku ingin menjadi ballerina sepertinya".

Teman saya tadi akhirnya bergabung dengan sekolah ballet di usia 12 tahun, saat masuk SMP. Usia yang cukup terlambat sebenarnya karena ballet sangat membutuhkan kelenturan tubuh yang akan lebih mudah diperoleh jika mulai belajar ballet di usia dini. Tapi teman saya itu membuktikan bahwa tekad dan mimpi dapat mengalahkan segalanya. Kabar terakhir yang saya dengar, ia berada di Rusia bergabung dengan one of the oldest and GREATEST ballet company in the world, the State Academic of Bolshoi. Salah satu company yang saya tuju di mimpi masa kecil saya, selain the Royal Ballet School di Inggris.

Pesan dari teman kedua baru saya dapat pagi ini. Ia meninggalkan personal message di inbox saya, setelah belum lama ini kami bertemu di Facebook dan saya menulis di wall-nya menanyakan kabarnya yang tidak saya ketahui sejak kelulusan SMA. Di pesannya ia berterima kasih pada saya karena (lagi-lagi tanpa sadar) saya telah menginspirasinya. Ia bercerita mengenai kegamangannya sewaktu pertama kali masuk SMA . Ia mengalami culture shock, karena masa SD dan SMP-nya dihabiskan di pesantren. Katanya, saya adalah orang yang menegur dia pertama (kami satu kelas). Keramahan saya membuat dia berpikir bahwa, mungkin sekolah ini tidak seburuk yang ia kira. Tahun berlalu dan walau tidak sepermainan (ohh ingatkah kalian masa2 SMA dengan politik pertemanan yang memuakkan!), hubungan kami baik. Saya selalu mengingatnya sebagai gadis berjilbab yang manis yang sering saya pinjam catatannya.

Di kelas 3 saya terbang ke Amerika untuk mengikuti pertukaran pelajar. Teman saya itu bilang, waktu penyusunan Buku Tahunan (BT), ia melihat foto saya dan ia tercenung. Panitia BT memang meminta saya mengirim foto yang menggambarkan kehidupan saya disana untuk dipajang di BT. Di foto itu katanya (saya bahkan telah lupa) saya sedang berdiri di depan locker di hallway sekolah, mengenakan baju winter dan sedang tertawa. Foto itu yang memotivasi teman saya yang ternyata selalu ingin untuk mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, namun tidak ada biaya. Setelah gagal diterima di AFS (American Field Service; organisasi pertukaran pelajar terbesar dan tertua), beberapa tahun kemudian ia terpilih mengikuti Australia Indo Youth Exchange Program, kemudian kini, beasiswa S2 di London. "Semuanya itu berawal dari mimpi. and I must say, u're one of my inspiratons. So I'd want to thank you for that. Keep being that person ya Tan, please do.." Mata saya berkaca-kaca.

Selain senang dan bangga, terbersit perasaan iri terhadap kedua teman saya tersebut. Saya merasa.. 'dilangkahi'. Saya merasa mereka telah melebarkan sayap dan terbang, dan sedangkan saya.. sempat hovering sebentar lalu kembali lagi ke tanah. GEDEBUK! Am I stuck in a moment? I refuse to. Saya harus terbang lagi.

Thank you, friends. Today, you both remind me how we must not let go of our dreams, no matter how silly they may be. Because that's where everything started. You've lived your dreams, and I know I will live mine soon..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar