Semalam saya menonton Lions for Lambs. Film yang bercerita mengenai kebijakan politik Amerika terhadap "war on terror" di Iraq dan Afghanistan. Si Tom Cruise berperan sebagai senator ambisius yang sedang diwawancara oleh jurnalis senior yang diperankan oleh Meryl Streep. Lalu ada Robert Redford sebagai dosen ilmu politik yang sedang berdiskusi 4 mata dengan salah sau muridnya. Sementara itu, di belahan dunia lain, terdapat 2 mantan murid si dosen yang mendaftar sukarela untuk berpatisipasi dalam perang melawan teror itu, a hispanic and an african-american, yang sedang berjuang mati-matian di garis musuh karena tertinggal pasukannya.
Filmnya lumayan. Sarat akan dialog2 berat bermuatan politik yang tidak sepenuhnnya saya mengerti yang sangat mungkin mengandung propaganda. Tapi bukan itu yang ingin membuat saya menulis. Dari ketiga cerita di film itu, story line yang paling menarik dan saya paling bisa relate adalah percakapan antara sang dosen dan si mahasiswa. Diceritakan bahwa si dosen ini memanggil mahasiswa ini, mempertanyakan kehadirannya di kelas yang hanya sekian persen. Padahal di awal semester kelas tersebut, si dosen sangat terkesan dengan kevokalan dan kecerdasan anak ini di diskusi-diskusi yang kerap ia lakukan di kelasnya dengan para muridnya. Namun lalu anak ini menghilang, dan hanya muncul saat ujian. Si dosen bertanya kenapa. Si anak menjawab, ia kehilangan minatnya. Ia bilang, as the class goes by every week, ia menemukan bahwa politik itu omong kosong dan akhirnya berujung pada siapa yang lebih berkuasa dan berduit. Akhirnya, bukan bagaimana menemukan cara untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan dan solusi atas masalah-masalah negara, tapi lebih bagaimana menggaet yang lebih berkuasa dan menggalang dana lebih banyak untuk kampanye selanjutnya.
Akhirnya si anak memilih untuk menenggelamkan diri dengan sibuk bersosialisasi dengan grup fraternitynya dan pesta-pesta liar kampus. Si dosen menyayangkan hal ini dan berusaha meyakinkan bahwa potensinya dapat membawa perubahan. Namun si anak sudah terlanjur skeptis. Dia bilang apa gunanya mencoba jika pada akhirnya ia akan berada di posisi yang sama dengan orang-orang yang tidak pernah mencoba.
"You're saying it's better to try and fail, than failing to try, is that what you're saying, doc?"
"Yes"
"So what if I end up landing in the same spot with the people that did not try at all? What's the good in that?"
"At least you know that you DID something"
Begitu kurang lebih bunyi percakapannya kalau saya tidak salah mengutip.
Saya tertegun. Beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman mengalami perbincangan serupa. Kami membahas apakah negeri ini sudah segitu bobroknya dan segitu tidak ada lagi orang baik di pemerintahan yang dapat membawa perubahan bagi bangsa ini. Salah satu dari teman saya itu sudah begitu skeptisnya sehingga ia tidak pernah menggunakan hak suaranya. Ia berpikir tidak gunanya karena ia telah kehilangan keyakinan pada negara ini. Kamipun berdebat dengannya. Salah satu dari kami berargumen bahwa, perubahan, sekecil apapun itu, bisa dimulai dari setiap orang. Dan itu antara lain bisa dimulai menggunakan hak suara. Teman saya yang kontra itu membalas bawa orang baik itu minoritas. Dan menjadi minoritas di kancah politik adalah bukan pilihan. Teman saya yang lain dengan penuh keyakinan berkata bahwa orang baik itu selalu ada jalannya. Dan walau tidak mudah dan tidak selalu menang, seseorang tidak boleh kehilangan keyakinan akan sesuatu yang baik.
Saya tidak bisa menyalahkan teman saya yang kontra itu. Ia adalah mungkin adalah satu dari sekian banyak orang yang sudah terlanjur skeptis, sehingga menjadi apatis. Lalu kami berpikir apa yang kami dapat sumbangkan sebetulnya? Untuk membuat semuanya lebih baik? Karena kebanyakan generasi kami ternyata telah menjadi apatis. Bahkan yang sebetulnya tidak skeptis sekalipun. Serunya pembicaraan kami malem itu pun, akhirnya tidak berkonklusi pada apapun dan pembicaraan kami berpindah ke topik lain.
Have we become 'that' generation? Mengerikan ya, karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli? Kembali ke film tadi sedikit. Terdapat adegan flasback mengenai kedua mahasiswa yang menjadi sukarelawan tadi. Mereka sedang berada di muka kelas, mempresentasikan tugas yang diberikan sang dosen, dan membuka diskusi dengan mengadakan sesi tanya jawab dengan seisi kelas. Presentasinya, kalau saya tidak salah ingat, adalah mengenai membuat perubahan yang melibatkan partisipasi masyarakat dari hal terkecil. Lalu melibatkan seluruh siswa dan mahasiswa di Amerika untuk lebih aware akan dunia di luar Amerika dengan mensyaratkan satu tahun ekstra magang di luar negeri sebagai syarat kelulusan. Di penghujung presentasi tiba2 salah satu mahasiswa berkata lantang bahwa isi presentasi mereka adalah omong kosong. "I think it's bullshit. I don't think you really give a shit. With your brains, yea right after this you don't wanna make yourself lots of money. Wouldn't you want to go to Stanford Business or Harvard Law or any grad school after this?" Mereka hanya tersenyum dan memasukkan slide tambahan di over head projectornya yang bertuliskan aplikasi mereka untuk menjadi sukarelawan ke medan perang. Seisi kelaspun tercengang, termasuk sang dosen.
Pergi sebagai sukarelawan sebagai medan perang memang terdengar ekstrim, bahkan untuk si dosen sekalipun, yang sempat berusaha menghentikan kepergian kedua mahasiswanya tersebut. Si dosen lalu meneladankan kedua mahasiswa ini ke mahasiswa malasnya tadi. Bagaimana kedua mahasiswanya itu, yang berasal dari sekolah kumuh di pinggiran kota dan mendapatkan perlakuan "warga negara kelas dua" di negaranya sendiri serta mampu kuliah karena beasiswa olahraga, namun memiliki kepedulian dan jiwa patriotisme lebih tinggi dari si mahasiswa yang duduk di hadapannya yang berkulit putih, berasal dari keluarga berada dan tidak pernah mengalami diskriminasi.
Saya ingin mengumpamakan bahwa si bocah kulit putih itu adalah cerminan dari kebanyakan generasi kita. Generasi yang mempunyai otak brilian namun tidak mempunyai cukup kepedulian terhadap nasib bangsanya. Baru2 ini ada teman ngepost note di Facebook. Isi notenya adalah counter atas pernyataan temannya sebelumnya yang mengatakan bahwa reaksi masyarakat Indonesia atas terpilihnya Obama sebagai prsiden AS adalah berlebihan, dan bahwa hal itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi dirinya, karena bagaimanapun kebijakan2 Obama nantinya akan sebisa mungkin menguntungkan rakyatnya, bukan seluruh dunia (well, he can't make everybody happy). Dan yang lebih menggelikan lagi adalah sentimental rakyat kita yang merasa ada conncetion dengan Obama karena 4 tahun masa kecilnya yang dihabiskan di Jakarta. Nah, teman saya ini lalu panjang lebar membela betapa menginsirasinya Obama dan betapa ia akan membawa perubahan dan harapan ke dunia ini. Dan iapun terus mengoceeehhhh sampai ke jaman budak amerika dulu and all that constituon shit sampe saya ngerasa ini anak sbenenrya mo ngasih lecture tentang US history or what sih. Respon2 yang menangapi notenya ga kalah ribet dan ngejelimet, seperti cerdas cermat saja. Dan, semua note dan respon2nya itu, semuanya in perfect english. Widih. Dan mereka2 ini kebanyakan adalah dari kalangan praktisi dan akademisi hukum yang masih muda2! DI bawah 27 lah rata2.. Saya rasanya kagum, bangga namun lalu bertanya-tanya. Gilaaa orang2 ini pinter2 banget tapi bisakah mereka menumpahkan aspirasi mereka ini dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah mereka tahu sejarah perjuangan bangsa ini sebaik mereka mengetahui sejarah perbudakan dan hak asasi amerika? Apakah orang-orang pintar di generasi saya ini bukan milik bangsa ini lagi?
Tak lama saya mengetahui teman saya itu bahkan berniat untuk bekerja di Amerika tahun depan saat dia berencana memulai sekolah S2nya. Dan bahkan, mengganti kewarganegaraannya, jika memang kesempatan itu ada. Padahal, ayahnya adalah seorang pengacara terhormat disini yang sangat bangga akan nilai2 leluhurnya. Saya sedih. Berapa banyak lagi anak bangsa kita yang akan seperti ini? Turning their backs like this when their country needs them the most. Fenomena apa ini? Derasnya arus informasi di masa ini malah jadi bumerang terhadap bangsa ini yang semakin tidak mengenal sejrah leluhurnya sendiri.
Saya sedih, karena ternyata dalam menulis posting inipun saya belum bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal katanya saya bangga. Padahal katanya saya ingin membuat perubahan.
Jadi temans, sebagai permulaan, mari kita gunakan hak pilih kita mulai tahun depan. Dan dengan sisa keyakinan yang kita miliki, siapa yang tahu?
Jumat, 28 November 2008
Kamis, 20 November 2008
When did the last time you do something for the first time?
Hidup ini cuma sekali. Sebisanya dan semasuk-akalnya, saya ingin live life to the fullest dengan selalu mencoba sesuatu yang baru, setiap ada kesempatan. Saya selalu suka akan sensasi dalam melakukan sesuatu untuk pertama kali. Mungkin maka dari itu, saya suka sekali nge-jabanin ajakan-ajakan untuk melakukan sesuatu yang saya belum pernah lakukan. Dari scubadiving, melompat dari tebing air terjun setinggi 10 meter sampai mengikuti audisi menyanyi untuk klub penyanyi broadway.
Pengalaman berikut mungkin memang terdengar remeh, tapi saya tidak pernah meremehkan pengalaman karena ia selalu dapat memperkaya hidup saya dan menjadi bahan cerita.
2 malam lalu saya mendapat telpon dari teman. Katanya saya mau tidak jadi VO talent untuk sebuah iklan yang sedang ia kerjakan. "Butuh cepat nih Tan, karena take mulai jam 9," katanya. Saya lihat jam dinding. Pukul 8.10. Saya baru saja pulang dari kantor, dan rasanya malas sekali untuk keluar rumah lagi. Lagipula saya tidak punya pengalaman sama sekali!
"Plisss dong.. Gw ga tau lagi musti nyari talent kemana lagi sedangkan take-nya musti malem ini juga. Mau yaa.. lo pasti bisa deh.Gw bilangnya lo dulu penyiar. Bilang aja lo dulu penyiar di... Brebes."
"Whaaaattttt??"
"Ya udah, cuek ya. Bentar lagi produser gw namanya anu mo telpon lo. Nanti lo langsung ke tempatnya ya di Daksa, ketemu sama Mas Rizal"
*klik
Mungkin sebagian dari kalian tahu betapa menjadi penyiar radio adalah salah satu dari sekian banyak mimpi masa kecil saya yang masih ingin saya coba wujudkan (karena menjadi Ballerina rasanya hampir tidak mungkin di usia ini). Dan saya tau biasanya jenjangnya adalah menjadi penyiar lalu menjadi VO talent, dan bukan sebaliknya. Hahahahah but the hell, it's something I just needed to take a shot at.
Setelah mengumpulkan segenap nyali, tidak sampai sejam saya sudah sampai di apa lah itu tempat rekaman suaranya. Dag dig dug. Ada cewe manis yang sedang menunggu juga. Saya sapa. Ternyata dia penyiar di Indika, VO talent untuk pekerjaan yang sama.
Saya membuka percakapan.
"Wah udah sering dong ya, jadi VO begini.."
"Iya sih.."
"Gw pertama kali nih.." Ups. waduh. harusnya saya tidak sejujur ini. abis deg2an banget, ga bisa kontrol ngomong. raut mukanya aga terkejut.
"loh, emang kerjanya apa?"
Masih senyum, tapi matanya lalu mengobservasi penampilan saya yang malam itu masih berbaju kantor.
"Konsultan hukum.. hehehe".
"Wahhh.. hahah.. jauh juga ya.."
Panik ga dianggap serius sebagai VO talent dan teringat pesan teman saya untuk mengaku sebagai mantan penyiar, sayapun menimpali, "Hehhehee eh iya.. tapi saya dulu pernah training jadi penyiar gitu sih.."
"Wah owyaaa.. dimana?"
Tadinya saya mau jawab Brebes seperti yang disarankan teman saya, tapi saya takut kalo si mbak ternyata berasal dari Brebes dan bertanya radio apa, saya akan gelagapan. Jadi sayapun menjawab asal,
"Prambors."
"Wahhhh.. gw juga dulu di Prambors 3 tahun sebelum ke Indika. Jaman kapaaann??"
MAMPUS GUEEEEEEEEEEE!!
"Oh.. eh.. owyaaa? Ehhmmm.. iyaa dulu banget gtiu sihh.. waktu SMA.. cuma magang2 gitu lah pas liburan..Trus ditawarin siaran sih, tapi ga gw ambil soalnya kuliah gw jauh di Karawaci"
Inkosistensi!! Padahal saya bilang waktu SMA, trus lompat ke kuliah. Mudah2an si mbak tidak sadar. Mudah2an dia berhenti bertanya. Kalo abis ini dia tanya kenal siapa aja di Prambors, mati gue. Untung..
"Tiitt.. titt.."
"Eh bentar ya, ada telp"
Dan pembicaraanpun terpotong karena pacar saya datang. HAHAHAHAHHA.. leganya..
Saya sengaja memintanya datang menemani untuk memberi dukungan moril. Si mbak dipanggil duluan. Saya diberi teks yang akan saya baca untuk take. Dag dig dug, saya mencoba membacanya, meminta masukan dari pacar. Setidaknya, dia kan lebih familiar dengan industri ini. Saya juga berlatih di kamar mandi. Setelah cukup confident, sayapun berusaha melupakan deg2an dengan bermain foozball sejenak.
Lagi2 asik2nya main sayapun dipanggil. Masuk ke ruangan dan langsung take. I felt that I was a natural. Hihihihi.. Setelah mendapat beberapa pengarahan, take berlangsung lancar selama kurang lebih setengah jam. I got out from that room feeling excited. I really enjoyed it! Maybe I can make this as a permanent side job. Uangnya ga seberapa, tapi sangat lumayan untuk cuap-cuap selama setengah jam. Mungkin ini adalah permulaan dari sesuatu yang baru! Or, maybe this is just going to be one time kind of thing that I'll just remember it as an interesting experience. Mungkin segalanya mungkin.. No regrets. At least I got to try something new..
When was your last first time?
Pengalaman berikut mungkin memang terdengar remeh, tapi saya tidak pernah meremehkan pengalaman karena ia selalu dapat memperkaya hidup saya dan menjadi bahan cerita.
2 malam lalu saya mendapat telpon dari teman. Katanya saya mau tidak jadi VO talent untuk sebuah iklan yang sedang ia kerjakan. "Butuh cepat nih Tan, karena take mulai jam 9," katanya. Saya lihat jam dinding. Pukul 8.10. Saya baru saja pulang dari kantor, dan rasanya malas sekali untuk keluar rumah lagi. Lagipula saya tidak punya pengalaman sama sekali!
"Plisss dong.. Gw ga tau lagi musti nyari talent kemana lagi sedangkan take-nya musti malem ini juga. Mau yaa.. lo pasti bisa deh.Gw bilangnya lo dulu penyiar. Bilang aja lo dulu penyiar di... Brebes."
"Whaaaattttt??"
"Ya udah, cuek ya. Bentar lagi produser gw namanya anu mo telpon lo. Nanti lo langsung ke tempatnya ya di Daksa, ketemu sama Mas Rizal"
*klik
Mungkin sebagian dari kalian tahu betapa menjadi penyiar radio adalah salah satu dari sekian banyak mimpi masa kecil saya yang masih ingin saya coba wujudkan (karena menjadi Ballerina rasanya hampir tidak mungkin di usia ini). Dan saya tau biasanya jenjangnya adalah menjadi penyiar lalu menjadi VO talent, dan bukan sebaliknya. Hahahahah but the hell, it's something I just needed to take a shot at.
Setelah mengumpulkan segenap nyali, tidak sampai sejam saya sudah sampai di apa lah itu tempat rekaman suaranya. Dag dig dug. Ada cewe manis yang sedang menunggu juga. Saya sapa. Ternyata dia penyiar di Indika, VO talent untuk pekerjaan yang sama.
Saya membuka percakapan.
"Wah udah sering dong ya, jadi VO begini.."
"Iya sih.."
"Gw pertama kali nih.." Ups. waduh. harusnya saya tidak sejujur ini. abis deg2an banget, ga bisa kontrol ngomong. raut mukanya aga terkejut.
"loh, emang kerjanya apa?"
Masih senyum, tapi matanya lalu mengobservasi penampilan saya yang malam itu masih berbaju kantor.
"Konsultan hukum.. hehehe".
"Wahhh.. hahah.. jauh juga ya.."
Panik ga dianggap serius sebagai VO talent dan teringat pesan teman saya untuk mengaku sebagai mantan penyiar, sayapun menimpali, "Hehhehee eh iya.. tapi saya dulu pernah training jadi penyiar gitu sih.."
"Wah owyaaa.. dimana?"
Tadinya saya mau jawab Brebes seperti yang disarankan teman saya, tapi saya takut kalo si mbak ternyata berasal dari Brebes dan bertanya radio apa, saya akan gelagapan. Jadi sayapun menjawab asal,
"Prambors."
"Wahhhh.. gw juga dulu di Prambors 3 tahun sebelum ke Indika. Jaman kapaaann??"
MAMPUS GUEEEEEEEEEEE!!
"Oh.. eh.. owyaaa? Ehhmmm.. iyaa dulu banget gtiu sihh.. waktu SMA.. cuma magang2 gitu lah pas liburan..Trus ditawarin siaran sih, tapi ga gw ambil soalnya kuliah gw jauh di Karawaci"
Inkosistensi!! Padahal saya bilang waktu SMA, trus lompat ke kuliah. Mudah2an si mbak tidak sadar. Mudah2an dia berhenti bertanya. Kalo abis ini dia tanya kenal siapa aja di Prambors, mati gue. Untung..
"Tiitt.. titt.."
"Eh bentar ya, ada telp"
Dan pembicaraanpun terpotong karena pacar saya datang. HAHAHAHAHHA.. leganya..
Saya sengaja memintanya datang menemani untuk memberi dukungan moril. Si mbak dipanggil duluan. Saya diberi teks yang akan saya baca untuk take. Dag dig dug, saya mencoba membacanya, meminta masukan dari pacar. Setidaknya, dia kan lebih familiar dengan industri ini. Saya juga berlatih di kamar mandi. Setelah cukup confident, sayapun berusaha melupakan deg2an dengan bermain foozball sejenak.
Lagi2 asik2nya main sayapun dipanggil. Masuk ke ruangan dan langsung take. I felt that I was a natural. Hihihihi.. Setelah mendapat beberapa pengarahan, take berlangsung lancar selama kurang lebih setengah jam. I got out from that room feeling excited. I really enjoyed it! Maybe I can make this as a permanent side job. Uangnya ga seberapa, tapi sangat lumayan untuk cuap-cuap selama setengah jam. Mungkin ini adalah permulaan dari sesuatu yang baru! Or, maybe this is just going to be one time kind of thing that I'll just remember it as an interesting experience. Mungkin segalanya mungkin.. No regrets. At least I got to try something new..
When was your last first time?
Selasa, 11 November 2008
Semuanya itu berawal dari mimpi..
Dua kali saya di-msg oleh dua teman lama saya dari masa sekolah, yang berterima kasih karena saya telah menginspirasi mereka. Padahal, saya tidak terlalu dekat dengan keduanya. Teman yang pertama adalah teman di SD, teman kedua adalah teman di SMA.
Teman yang pertama meninggalkan pesan di Friendster sekitar 2-3 tahun yang lalu. Dunia yang kecil mempertemukan kami lagi karena ternyata kala itu ia tengah berpacaran dengan sodara saya. Dari saudara saya itu saya mengetahui si teman adalah seorang ballerina yang berprestasi. Mereka bertemu di sebuah pagelaran dimana teman saya itu menari dan saudara saya yang menggarap musiknya. Saya melihat-lihat profil dan foto-fotonya di Friendster yang menampilkan berbagai prestasinya.
Menjadi ballerina bukan hanya sekedar salah satu mimpi remeh masa kecil saya. I wanted to make it happen. I did my research. Saya tahu sekolah mana yang akan/perlu saya masuki untuk menjadi ballerina profesional.
Saya sempat menekuni ballet sekitar hampir 7 tahun lamanya sebelum akhirnya berhenti karena Ibu saya memasukkan ke sekolah (SMP) yang tidak memungkinkan saya menekuni ballet lagi karena panjangnya jam belajar (07.00-15.30). Sekolah saya ini adalah salah satu sekolah pertama yang menerapkan sekolah 5 hari (Sabtu libur). Hati saya hancur harus meninggalkan hobi yang sangat saya cintai dan satu2nya potensi bakat yang saya rasa saya punyai kala itu. Beberapa tahun setelahnya, saya tidak mau melihat atau mendengar apapun mengenai ballet.
Saya tidak menyalahkan Ibu saya, walau sebagian dari diri saya ingin sekali. Di tahun ke-6 itu, saya sempat dilanda kebosanan yang luar biasa. Lalu, aktivitas tambahan belajar untuk persiapan EBTANAS di kelas 6 yang disambung dengan latihan ballet, membuat saya lelah luar biasa. Selanjutnya ya tertebak, saya jadi males2an, pura2 tidak enak badan kalau saatnya harus pergi ke tempat les ballet. Ibu saya yang khawatir saya jatuh sakit karena kelelahan padahal EBTANAS di depan mata, menawarkan apakah saya ingin berhenti ballet saja untuk sementara. Kala itu, sepertinya hal tersebut terdengar brilian, dan solusi atas segalanya. Agak ragu, sayapun mengangguk. Saat dia tanya apakah saya yakin, saya diam saja. Salah satu keputusan yang saya sesali dalam hidup saya, karena sementara lalu menjadi permanen. Kadang saya berpikir, kalau saja Ibu saya mendorong saya lebih keras (Tapi Ibu saya tidak tegaan. Dan ia takut menjadi one of those super over-obsessed parent yang mem-push anaknya terlalu keras.) Kalau saja saya mendorong diri saya lebih keras dan tidak malas2an (Tapi umur saya baru 11 tahun kala itu, I didn't know better). Kalau saja saya jujur pada Ibu saya bahwa saya rindu ballet dan ingin kembali menekuninya, dan bahwa saya tidak mau ia memasukkan saya ke sekolah SMP 5 hari itu (Tapi semua teman yang saya kenal di SD masuk ke SMP itu, dan butterfly effect of this was, saya mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Opiq).
Teman saya tadi, ia berterima kasih kepada saya karena tanpa saya sadari katanya, saya telah menginspirasinya untuk menjadi seorang ballerina (selain mari-chan, hehe). Masa2 dulu saya harus pergi ke tempat ballet langsung dari sekolah, saya harus berganti dengan 'atribut' ballet di sekolah. When I put on my little leotard, tights and tutu, teman saya ini suka memperhatikan dari jauh. Iapun berkata dalam hati, "Suatu hari nanti aku ingin menjadi ballerina sepertinya".
Teman saya tadi akhirnya bergabung dengan sekolah ballet di usia 12 tahun, saat masuk SMP. Usia yang cukup terlambat sebenarnya karena ballet sangat membutuhkan kelenturan tubuh yang akan lebih mudah diperoleh jika mulai belajar ballet di usia dini. Tapi teman saya itu membuktikan bahwa tekad dan mimpi dapat mengalahkan segalanya. Kabar terakhir yang saya dengar, ia berada di Rusia bergabung dengan one of the oldest and GREATEST ballet company in the world, the State Academic of Bolshoi. Salah satu company yang saya tuju di mimpi masa kecil saya, selain the Royal Ballet School di Inggris.
Pesan dari teman kedua baru saya dapat pagi ini. Ia meninggalkan personal message di inbox saya, setelah belum lama ini kami bertemu di Facebook dan saya menulis di wall-nya menanyakan kabarnya yang tidak saya ketahui sejak kelulusan SMA. Di pesannya ia berterima kasih pada saya karena (lagi-lagi tanpa sadar) saya telah menginspirasinya. Ia bercerita mengenai kegamangannya sewaktu pertama kali masuk SMA . Ia mengalami culture shock, karena masa SD dan SMP-nya dihabiskan di pesantren. Katanya, saya adalah orang yang menegur dia pertama (kami satu kelas). Keramahan saya membuat dia berpikir bahwa, mungkin sekolah ini tidak seburuk yang ia kira. Tahun berlalu dan walau tidak sepermainan (ohh ingatkah kalian masa2 SMA dengan politik pertemanan yang memuakkan!), hubungan kami baik. Saya selalu mengingatnya sebagai gadis berjilbab yang manis yang sering saya pinjam catatannya.
Di kelas 3 saya terbang ke Amerika untuk mengikuti pertukaran pelajar. Teman saya itu bilang, waktu penyusunan Buku Tahunan (BT), ia melihat foto saya dan ia tercenung. Panitia BT memang meminta saya mengirim foto yang menggambarkan kehidupan saya disana untuk dipajang di BT. Di foto itu katanya (saya bahkan telah lupa) saya sedang berdiri di depan locker di hallway sekolah, mengenakan baju winter dan sedang tertawa. Foto itu yang memotivasi teman saya yang ternyata selalu ingin untuk mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, namun tidak ada biaya. Setelah gagal diterima di AFS (American Field Service; organisasi pertukaran pelajar terbesar dan tertua), beberapa tahun kemudian ia terpilih mengikuti Australia Indo Youth Exchange Program, kemudian kini, beasiswa S2 di London. "Semuanya itu berawal dari mimpi. and I must say, u're one of my inspiratons. So I'd want to thank you for that. Keep being that person ya Tan, please do.." Mata saya berkaca-kaca.
Selain senang dan bangga, terbersit perasaan iri terhadap kedua teman saya tersebut. Saya merasa.. 'dilangkahi'. Saya merasa mereka telah melebarkan sayap dan terbang, dan sedangkan saya.. sempat hovering sebentar lalu kembali lagi ke tanah. GEDEBUK! Am I stuck in a moment? I refuse to. Saya harus terbang lagi.
Thank you, friends. Today, you both remind me how we must not let go of our dreams, no matter how silly they may be. Because that's where everything started. You've lived your dreams, and I know I will live mine soon..
Teman yang pertama meninggalkan pesan di Friendster sekitar 2-3 tahun yang lalu. Dunia yang kecil mempertemukan kami lagi karena ternyata kala itu ia tengah berpacaran dengan sodara saya. Dari saudara saya itu saya mengetahui si teman adalah seorang ballerina yang berprestasi. Mereka bertemu di sebuah pagelaran dimana teman saya itu menari dan saudara saya yang menggarap musiknya. Saya melihat-lihat profil dan foto-fotonya di Friendster yang menampilkan berbagai prestasinya.
Menjadi ballerina bukan hanya sekedar salah satu mimpi remeh masa kecil saya. I wanted to make it happen. I did my research. Saya tahu sekolah mana yang akan/perlu saya masuki untuk menjadi ballerina profesional.
Saya sempat menekuni ballet sekitar hampir 7 tahun lamanya sebelum akhirnya berhenti karena Ibu saya memasukkan ke sekolah (SMP) yang tidak memungkinkan saya menekuni ballet lagi karena panjangnya jam belajar (07.00-15.30). Sekolah saya ini adalah salah satu sekolah pertama yang menerapkan sekolah 5 hari (Sabtu libur). Hati saya hancur harus meninggalkan hobi yang sangat saya cintai dan satu2nya potensi bakat yang saya rasa saya punyai kala itu. Beberapa tahun setelahnya, saya tidak mau melihat atau mendengar apapun mengenai ballet.
Saya tidak menyalahkan Ibu saya, walau sebagian dari diri saya ingin sekali. Di tahun ke-6 itu, saya sempat dilanda kebosanan yang luar biasa. Lalu, aktivitas tambahan belajar untuk persiapan EBTANAS di kelas 6 yang disambung dengan latihan ballet, membuat saya lelah luar biasa. Selanjutnya ya tertebak, saya jadi males2an, pura2 tidak enak badan kalau saatnya harus pergi ke tempat les ballet. Ibu saya yang khawatir saya jatuh sakit karena kelelahan padahal EBTANAS di depan mata, menawarkan apakah saya ingin berhenti ballet saja untuk sementara. Kala itu, sepertinya hal tersebut terdengar brilian, dan solusi atas segalanya. Agak ragu, sayapun mengangguk. Saat dia tanya apakah saya yakin, saya diam saja. Salah satu keputusan yang saya sesali dalam hidup saya, karena sementara lalu menjadi permanen. Kadang saya berpikir, kalau saja Ibu saya mendorong saya lebih keras (Tapi Ibu saya tidak tegaan. Dan ia takut menjadi one of those super over-obsessed parent yang mem-push anaknya terlalu keras.) Kalau saja saya mendorong diri saya lebih keras dan tidak malas2an (Tapi umur saya baru 11 tahun kala itu, I didn't know better). Kalau saja saya jujur pada Ibu saya bahwa saya rindu ballet dan ingin kembali menekuninya, dan bahwa saya tidak mau ia memasukkan saya ke sekolah SMP 5 hari itu (Tapi semua teman yang saya kenal di SD masuk ke SMP itu, dan butterfly effect of this was, saya mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Opiq).
Teman saya tadi, ia berterima kasih kepada saya karena tanpa saya sadari katanya, saya telah menginspirasinya untuk menjadi seorang ballerina (selain mari-chan, hehe). Masa2 dulu saya harus pergi ke tempat ballet langsung dari sekolah, saya harus berganti dengan 'atribut' ballet di sekolah. When I put on my little leotard, tights and tutu, teman saya ini suka memperhatikan dari jauh. Iapun berkata dalam hati, "Suatu hari nanti aku ingin menjadi ballerina sepertinya".
Teman saya tadi akhirnya bergabung dengan sekolah ballet di usia 12 tahun, saat masuk SMP. Usia yang cukup terlambat sebenarnya karena ballet sangat membutuhkan kelenturan tubuh yang akan lebih mudah diperoleh jika mulai belajar ballet di usia dini. Tapi teman saya itu membuktikan bahwa tekad dan mimpi dapat mengalahkan segalanya. Kabar terakhir yang saya dengar, ia berada di Rusia bergabung dengan one of the oldest and GREATEST ballet company in the world, the State Academic of Bolshoi. Salah satu company yang saya tuju di mimpi masa kecil saya, selain the Royal Ballet School di Inggris.
Pesan dari teman kedua baru saya dapat pagi ini. Ia meninggalkan personal message di inbox saya, setelah belum lama ini kami bertemu di Facebook dan saya menulis di wall-nya menanyakan kabarnya yang tidak saya ketahui sejak kelulusan SMA. Di pesannya ia berterima kasih pada saya karena (lagi-lagi tanpa sadar) saya telah menginspirasinya. Ia bercerita mengenai kegamangannya sewaktu pertama kali masuk SMA . Ia mengalami culture shock, karena masa SD dan SMP-nya dihabiskan di pesantren. Katanya, saya adalah orang yang menegur dia pertama (kami satu kelas). Keramahan saya membuat dia berpikir bahwa, mungkin sekolah ini tidak seburuk yang ia kira. Tahun berlalu dan walau tidak sepermainan (ohh ingatkah kalian masa2 SMA dengan politik pertemanan yang memuakkan!), hubungan kami baik. Saya selalu mengingatnya sebagai gadis berjilbab yang manis yang sering saya pinjam catatannya.
Di kelas 3 saya terbang ke Amerika untuk mengikuti pertukaran pelajar. Teman saya itu bilang, waktu penyusunan Buku Tahunan (BT), ia melihat foto saya dan ia tercenung. Panitia BT memang meminta saya mengirim foto yang menggambarkan kehidupan saya disana untuk dipajang di BT. Di foto itu katanya (saya bahkan telah lupa) saya sedang berdiri di depan locker di hallway sekolah, mengenakan baju winter dan sedang tertawa. Foto itu yang memotivasi teman saya yang ternyata selalu ingin untuk mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, namun tidak ada biaya. Setelah gagal diterima di AFS (American Field Service; organisasi pertukaran pelajar terbesar dan tertua), beberapa tahun kemudian ia terpilih mengikuti Australia Indo Youth Exchange Program, kemudian kini, beasiswa S2 di London. "Semuanya itu berawal dari mimpi. and I must say, u're one of my inspiratons. So I'd want to thank you for that. Keep being that person ya Tan, please do.." Mata saya berkaca-kaca.
Selain senang dan bangga, terbersit perasaan iri terhadap kedua teman saya tersebut. Saya merasa.. 'dilangkahi'. Saya merasa mereka telah melebarkan sayap dan terbang, dan sedangkan saya.. sempat hovering sebentar lalu kembali lagi ke tanah. GEDEBUK! Am I stuck in a moment? I refuse to. Saya harus terbang lagi.
Thank you, friends. Today, you both remind me how we must not let go of our dreams, no matter how silly they may be. Because that's where everything started. You've lived your dreams, and I know I will live mine soon..
Rabu, 05 November 2008
OBAMA menang!
Bukannya sok-sok ke-amerika2-an, tapi ini adalah peristiwa bersejarah loh. Dan kita semua saksinya.
Mudah2an tidak hanya kepada negaranya ia membawa perubahan, tapi juga pada dunia ini.
Pidatonya birilian, menyentuh hati dan membuat saya merinding. Dalam hati saya berharap, saya ingin mempunyai persaan seperti ini tahun depan. Saat presiden negara ini terpilih, atau terpilih lagi. Saat ia memberikan pidato kemenangannya. Saya ingin bangga. Saya ingin merasa bahwa harapan itu masih ada untuk bangsa dan negara ini.
Mudah2an. Amin.
Mudah2an tidak hanya kepada negaranya ia membawa perubahan, tapi juga pada dunia ini.
Pidatonya birilian, menyentuh hati dan membuat saya merinding. Dalam hati saya berharap, saya ingin mempunyai persaan seperti ini tahun depan. Saat presiden negara ini terpilih, atau terpilih lagi. Saat ia memberikan pidato kemenangannya. Saya ingin bangga. Saya ingin merasa bahwa harapan itu masih ada untuk bangsa dan negara ini.
Mudah2an. Amin.
Selasa, 04 November 2008
"Sumpe loo? Oww my f**in gawwwddd.. get outta here!"
Tadi pagi naik busway dari Al-Azhar seperti biasa. Trus waktu mengantri menunggu bus tiba, pas di depan saya ada gerombolan anak2 perempuan SMA Al-Azhar. Mereka berlima. Saya menguping pembicaraannya hingga kami akhirnya masuk ke dalam bus hingga akhirnya saya harus turun di halte tujuan saya. Berikut petikan kupingan saya tadi (and all of the following of course with perfect american-teenage- Movie accent). Perhatikan betapa mereka sering melakukan pengulangan kalimat Indonesia dan kalimat Inggris berturut-turut:
"Okay, okaayyy shut the fuck up you guyssss... You guys are freakin' loud."
"Eh eh eh tau ga siy loo I think my mom won't let me go to konsernya Rihanna deh"
"Awww sumpe looo? kenapaaa?"
"yea she thinks, like, gw cuma tau lagunya paling beberapaaa gt.. basi deh. sucks"
"aww ya udah lah udahhh ngapain jugaaaaa, i'm not sure i'm going."
"ahhhhhh tai bangettttt ahhh. shitttt shitt shiittt. gw tau bangettt itu cowo emang begitu udah keliatan dari mukanya. I knew it from his face!"
"trus how is she now? gimana dianya sekarang?"
"ya tauu her mom like calling me non-stop. ya mana gw tauu musti ngomong apa. I don't know what to say."
"ouwwwww eh prom gimana nih promm?"
"omigod, omigod ya oloooo bok lo jadi ambil baju waktu itu?"
"i'm not sure about the dress. tapi kayak the hair im gonna do like aga sanggul konde brantakan gitu deh. messy bun. yang kaya mischa barton dimanaaa gitu"
"omigod that is sooo cuteee. lucu banget"
*tiba-tiba bisik-bisik*
*indistinct chat*
eh tiba2..
suddenly..
"Sumpe loo? Oww my f**in gawwwddd.. get outta here!"
Hampir sebus nengok ke arah mereka.
Saya cuma menahan senyum lalu siap2 turun.
Ahhh anak muda jaman sekarang.. LOL :D
"Okay, okaayyy shut the fuck up you guyssss... You guys are freakin' loud."
"Eh eh eh tau ga siy loo I think my mom won't let me go to konsernya Rihanna deh"
"Awww sumpe looo? kenapaaa?"
"yea she thinks, like, gw cuma tau lagunya paling beberapaaa gt.. basi deh. sucks"
"aww ya udah lah udahhh ngapain jugaaaaa, i'm not sure i'm going."
"ahhhhhh tai bangettttt ahhh. shitttt shitt shiittt. gw tau bangettt itu cowo emang begitu udah keliatan dari mukanya. I knew it from his face!"
"trus how is she now? gimana dianya sekarang?"
"ya tauu her mom like calling me non-stop. ya mana gw tauu musti ngomong apa. I don't know what to say."
"ouwwwww eh prom gimana nih promm?"
"omigod, omigod ya oloooo bok lo jadi ambil baju waktu itu?"
"i'm not sure about the dress. tapi kayak the hair im gonna do like aga sanggul konde brantakan gitu deh. messy bun. yang kaya mischa barton dimanaaa gitu"
"omigod that is sooo cuteee. lucu banget"
*tiba-tiba bisik-bisik*
*indistinct chat*
eh tiba2..
suddenly..
"Sumpe loo? Oww my f**in gawwwddd.. get outta here!"
Hampir sebus nengok ke arah mereka.
Saya cuma menahan senyum lalu siap2 turun.
Ahhh anak muda jaman sekarang.. LOL :D
Langganan:
Postingan (Atom)